Oleh: Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Pada setiap Ramadhan tiba, dan selama bulan suci ini berjalan Nabi selalu memberi teladan untuk terus memelihara kedekatan dengan al-Qur’an. Para shahabat diajaknya membuka kembali hapalan mereka tentang ayat-ayat al-Qur’an yang pernah disampaikan Nabi segera setelah wahyu itu diterima. Mereka diajaknya berdialog dengan al-Qur’an, bertanya tentang berbagai masalah pada al-Qur’an. Nabi juga senantiasa memberikan penjelasan, atau tafsir-tafsir atas setiap ayat yang dipandang masih menyembunyikan rahasiah makna, atau karena ada pertanyaan yang diajukan para shahabat terkait dengan rahasiah yang tersembunyi di dalamnya.

Dalam kesehariannya hidup bersama Nabi, para shahabat sering mendapatkan pelajaran penting yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Berbagai tanda tanya yang biasa menggoda pikiran para shahabat pelan-pelan terjawab melalui bimbingan wahyu. Suatu ketika, dua orang shahabat Nabi, Mu’az bin Jabal dan Sa’labah bin Ganimah, bertanya kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah, kenapa bulan itu kelihatan mula-mula halus seperti benang, kemudian bertambah besar sehingga rata dan bundar; tapi kemudian terus berkurang dan mengecil kembali seperti semula, dan tidak dalam satu bentuk yang tetap?”

Pada saat Nabi SAW ditanya inilah kemudian turun surat Al-Baqarah (2) ayat 189. “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: ‘Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa, dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung’”. Para shahabat pun merasa memperoleh petunjuk dan pelajaran. Mereka menemukan sesuatu yang luar biasa dari setiap wahyu yang diturunkan Allah dan kemudian langsung disampaikan oleh Nabi kepada mereka.

Pada saat itu, terntu saja belum seluruh isi al-Qur’an diterima Nabi. Isyarat-isyarat yang melekat pada setiap ayat yang diterimanya, terasa jelas menjadi petunjuk solutif atas berbagai pertanyaan yang muncul di tengah kehidupan yang sarat tantangan. Al-Qur’an memang merupakan petunjuk (hudan) sekaligus menjadi sumber inspirasi berbagai pengetahuan. Bahkan, sejak pertama kali diturunkan pada awal abad ke-7 M., al-Qur’an telah memberikan isyarat luar biasa, sekaligus menyosialisasikan dirinya dengan cara-cara dan sifatnya sendiri. Ia hadir di tengah pergumulan peradaban manusia yang sudah cukup tinggi, tapi begitu mudah disentuh al-Qur’an melalui jalan yang paling mungkin bisa ditempuh manusia.

Pesan-pesan al-Qur’an kemudian digali dan dipahami setahap demi setahap. Terbukalah cakrawala pengetahuan yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Ditemukan pulalah cara-cara dan pendekatan sesuai dengan latar belakang para penggalinya. Pemilihan cara-cara seperti itu terus dilakukan, dan semakin terbuka pula setiap rahasiah di dalamnya. Semua temuan itu begitu berharga bagi kemajuan peradaban manusia, karena ia memang diperuntukan bagi umat manusia yang menghuni bumi ini pada setiap zaman dan tempat. Ia diturunkan melalui seorang Rasul yang juga seorang manusia biasa. Al-Qur’an hadir dengan menggunakan bahasa (yang dapat dipahami) manusia. Sehingga meskipun secara formal ia menggunakan bahasa Arab (versi al-Qur’an), tapi pada tahap pemaknaannya, bahasa itu dapat diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa manusia, sesuai dengan dimensi kemanusiaan.

Munculnya terjemahan al-Qur’an dalam berbagai versi bahasa di dunia, memperlihatkan keterbukaan pesan-pesan Tuhan untuk dipahami sesuai dengan bahasa pemakainya. Tidak ada larangan untuk menterjemahkan al-Qur’an, meskipun al-Qur’an sendiri tetap terpelihara dalam bahasa aslinya. Jika kemudian ditemukan variasi terjemahan meskipun dalam bahasa yang sama, itu juga merupakan isyarat kebesaran wahyu yang tercermin dalam keterbatasan dimensi pemikiran para penerjemahnya. Dan itu pun tidak dilarang atau disalahkan, sebab al-Qur’an sendiri yang memberikan jaminan perbedaan pemikiran di antara manusia.

Sebagai sumber pengetahuan, pesan-pesan al-Qur’an tidak pernah kering dari sentuhan pemikiran para ahli dari berbagai latar belakang keilmuan. Tidak heran jika seorang biolog mampu mengungkap rahasiah ayat-ayat yang menceritakan tentang kejadian dan pertumbuhan manusia seperti tercantum pada surat al-Hijr (15) ayat 26 dan 28; al-Rahman (55) ayat 3 dan 14; as-Sajdah (32) ayat 7-8, dan lain sebagainya; atau seorang astronom mampu memperoleh wawasan ilmiah tentang berbagai peristiwa yang terjadi di alam semesta, seperti fenomena gerhana serta pergantian waktu yang banyak terungkap dalam surat an-Nur (24) ayat 44; Luqman (31) ayat 29; al-Insyiqaq (84) ayat 17-18, dan lain sebagainya. Pesan-pesan itu lalu dikemas dan disajikan dalam nuansa kebudayaan lokal yang menjadi pakaian masyarakat sehari-hari. Bahasanya disederhanakan sesuai dengan tingkat pemikiran para pemeluknya yang memang baru saja mengenal ajaran al-Qur’an.

Kebesaran al-Qur’an terus digali, dan semakin dalam manusia menggali hikmah dan kandungannya, semakin besar pula nampak rahasiah yang tersembunyi di dalamnya. Termasuk semakin ditemukannya cara-cara yang paling mudah mengungkap kebesaran itu. Mungkin tidak pernah terbayangkan pada sekitar dua puluh tahun yang lalu kalau saat ini al-Qur’an telah menjadi barang yang sangat akrab dengan teknologi komputer. Kitab Fath al-Rahman yang selama ini digunakan oleh kalangan pesantren untuk mencari posisi sesuatu ayat dalam al-Qur’an, kini telah dipermudah melalui teknologi komputer. Bahkan, bukan saja dapat dengan mudah diketahui posisinya, tapi juga bisa langsung dinikmati suaranya dan dicopy untuk dikutip atau dipindahkan sesuai dengan kebutuhan. Kitab Fath al-Rahman, CD Al-Qur’an, ataupun fasilitas modern lainnya yang bisa merekam mushaf al-Qur’an, belum ada pada zaman Nabi. Penyebaran al-Qur’an hanya bisa dilakukan dengan cara-cara yang sangat sederhana, disampaikan dari mulut ke mulut.

Sebagai seorang Rasul penerima wahyu, Muhammad SAW. lalu menyampaikan setiap ayat yang diterimanya kepada para shahabat dengan cara-cara yang hikmah, sesuai dengan kapasitas intelektual serta kultur yang dianutnya pada saat itu. Ditambah lagi dengan pertimbangan-pertimbangan teknis sosialisasi lainnya yang juga ikut berpengaruh secara signifikan. Dikumpulkanlah para shahabat untuk menghapal setiap ayat yang datang dengan teliti dan penuh ketekunan. Karena itu, diturunkannya al-Qur’an secara berangsur-angsur, tentu saja menjadi faktor yang sangat menolong untuk memudahkan Nabi dan para shahabatnya dalam menghapal ayat demi ayat.

Demikianklah teladan Nabi dalam mengisi hari-hari Ramadhan. Hingga saat ini tradisi ini terasa terus berkembang. Di berbagai tempat terasa gema al-Qur’an mewarnai syiar ramadhan sekaligus mengisi setiap ruang kehidupan masyarakat. Ramadhan menjadi bulan al-Qur’an, bukan saja karena sejarah diturunkannay al-Qur’an pada bulan ini, tapi juga karena al-Qur’an tetap hidup, dekat, dan senantiasa dibutuhkan para pemeluknya.

 

Penulis :

Komisaris Utama Biro Perjalanan Umrah dan Haji Safari Suci

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Kota Bandung