Oleh : Dr. Miftah Faridl

Fiqh, dengan Ushl al-Fiqh sebagai pedoman metodologisnya, merupakan produk pemikiran yang bersumber pada ajaran. Rumusan-rumusannya dimaksudkan untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam di satu sisi dengan tuntutan kondisional msayarakat Muslim di sisi lain. Itulah sebabnya, dalam konteks seperti itu, fiqh bisa disebut pula sebagai produk upaya “pribumisasi” Islam yang diperoleh melalui proses interpretasi atas ajaran, baik yang bersumber pada al-Qur’an maupun sunnah Nabi. Hal ini diperlukan terutama untuk memelihara kesahihan beribadah sesuai dengan keyakinan dan keterbatasan pengetahuan.

Ketika isu pembaruan Islam mengemuka kembali awal 1970-an, kontroversi pun muncul sebagai reaksi atas upaya reinterpretasi ajaran yang pada gilirannya dapat menyentuh relasi antara keyakinan dengan pemeliharaan nilai-nilai ajaran dimaksud. Secara substansial, hal ini dilakukann antara lain karena kebutuhan menemukan kembali relevansi antara ajaran dengan kepentingan adanya pedoman praktis pelaksanaannya dalam tataran kehidupan. Pedoman praktis inilah yang dalam tulisan pengantar ini disebut fiqh. Jadi, untuk memelihara kesahihan beribadah, fiqh tetap diperlukan, meskipun ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah Nabin telah banyak memberikan aturan.

Namun demikian, secara teknis tidak mudah dilakukan. Banyak hal yang harus dilalui oleh seorang fuqaha. Di antara tantangan utama yang dihadapi dalam mengembangkan pemikiran keagamaan (fiqh) di Indonesia saat ini, antara lain, menyangkut masalah metodologi. Sebagai contoh, dalam ungkapan Isma’il R. al-Faruqi ketika mengantarkan bukunya The Cultural Atlas of Islam, disebutkan bahwa para penulis Muslim pada umumnya memiliki tingkat sensitivitas alamiah (natural sensitivity) yang tinggi terhadap nilai-nilai Islam. Kesimpulan al Faruqi itu sebetulnya lebih didasarkan pada hasil telaahnya terhadap situasi pemikiran Islam di luar Indonesia. Akan tetapi kondisi seperti ini, tampaknya, terjadi pula pada para pemikir keagamaan di Indonesia.

Seperti layaknya sebuah keyakinan, Islam ditempatkan pada posisi yang amat penting, sehingga karena begitu pentingnya keyakinan itu terpelihara utuh, seakan-akan tidak ada lagi tempat untuk memungkinkan terjadinya dialog antara keyakinan dengan realitas nyata kehidupan. Karena itu, jarang sekali di antara mereka yang mencoba mengekspresikan lebih jauh tentang esensi Islam dalam nuansa fenomena historis-empiris yang lebih konkrit. Pada tingkat tertentu, keadaan seperti ini seringkali cukup memberikan pengaruh yang kuat terhadap upaya pengembangan ilmu-ilmu agama yang juga di sisi lain sesungguhnya kini telah banyak dipengaruhi oleh madzhab positivistik.

Kontroversi di sekitar pengembangan ilmu-ilmu agama juga menyiratkan masih kuatnya dominasi pemikiran yang mengasumsikan agama — juga dalam hal ini setiap sistem kepercayaan — dengan sistem kemutlakan. Karena kemutlakan itu pula sehingga agama hampir selalu dipandang secara normatif. Memang hal ini juga tidak berarti tidak benar. Sebab, lewat kemutlakannya itu suatu agama bisa berfungsi sebagai pegangan dan tuntunan hidup yang memerlukan kadar kepastian yang tinggi. Tanpa adanya kadar kepastian itu, agama akan kehilangan pengikutnya, terutama bagi mereka yang telah beragama (khususnya Islam) sejak pertama kali dilahirkan. Seperti banyak di antara masyarakat Muslim kita, mereka telah beragama sejak mereka lahir, sehingga adanya kadar kepastian itu dianggap sebagai sesuatu yang harus ada sebagai wujud dari tuntunan yang harus diikutinya.

Akan tetapi, pada saat yang sama, muncul pula kesadaran umat beragama, bahwa agamanya juga mengajarkan tentang amal perbuatan yang praktis dan mendunia. Dalam takaran syari’at, melalui proses ijtihad, dimensi praktis itu melahirkan apa yang disebut fiqh. Ia merupakan rumusan insani sebagai salah satu bentuk terjemahan pesan-pesan wahyu ke dalam dataran kehidupan manusia melalui upaya mempertemukan serta mendialogkan antara kedua sisi tersebut. Oleh karenanya, meskipun muatan kitab suci itu bernilai universal, tetapi fiqh sebagai salah satu wujud interpretasi para pemeluknya tetap bersifat lokal. Karena interpretasi seseorang tentang Islam tidak pernah lahir dari ruangan hampa, tetapi selalu menyiratkan keterlibatan dimensi-dimensi tempat dan waktu. Oleh karena itu, dalam kerangka inilah saya ingin menyebutkan sekali lagi, bahwa fiqh itu bersifat lokal, bukan saja karena pertimbangan batas-batas kekuasaan negara, tetapi juga karena sangat mungkin adanya fiqh-fiqh lokal lainnya yang didasarkan pada kepentingan dan pertimbangan kekhususan kebudayaan tertentu.

Di situlah Islam kemudian bergerak dalam lintasan sejarah kemanusiaan. Islam tidak lagi disikapi (hanya) sebuah doktrin yang bernilai mutlak, tetapi juga menjadi sosok yang mensejarah, sosok Islam yang bertanda kutif. Islam bergerak mengikuti perjalanan sejarah yang terus melaju memasuki ruangan-ruangan peradaban manusia yang telah tumbuh jauh sebelum Islam versi Nabi Muhammad ini lahir. Saya menyebut Islam versi Nabi Muhammad, sebab ada Islam versi nabi-nabi yang lainnya, yang oleh al-Qur’an masih disebut Islam. Sementara yang menjadi tema pokok tulisan ini adalah Islam versi Nabi Muhammad.

Dalam dataran inilah Islam kemudian kembali mempribumi untuk mengungkap nilai-nilai universal yang pernah hidup pada periode nabi-nabi sebelumnya. Karena sebab itulah, di sini al Faruqi kembali mengingatkan, “in the writing of many authors Islam is confused with the Muslim.” Islam tidak bisa diidentifikasi dengan sejarah Muslim manapun. Islam di Indonesia, misalnya, akan memancarkan kemasan khas Islam Indonesia . Ia relatif berbeda bila dibanding dengan Islam-Islam lainnya yang tumbuh dan berkembang di kawasan-kawasan yang berkebudayaan beda.

Oleh karena itu, bila masih ada rumusan-rumusan interpretasi tentang Islam yang lahir pada saat dan tempat yang amat berbeda dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini, maka kita perlu kritis menganalisis sebelum kita gunakan sebagai pedoman berperilaku keagamaan. Sebab mungkin saja terjadi pada rumusan-rumusan tersebut ditemukan petunjuk teknis beragama yang sudah kurang relevan alias out-of-date. Jika beberapa saat lagi kita akan memasuki abad baru, yaitu abad XXI, maka fiqh yang pernah dirumuskan pada sekitar abad sepuluh atau sebelasan dan di tempat yang berkebudayaan sangat berbeda, perlu terus menerus ditinjau ulang tingkat relevansinya. Saya bahkan menduga, dari sekian banyak rumusan-rumusan fiqh itu ada di antaranya yang sudah kurang relevan dengan problematika masyarakat Muslim di Indonesia saat ini. Karena itu, fiqh harus terus dianalisis, dirombak, dilakukan ikhtiar bongkar-pasang, baik total maupun parsial.

Dengan demikian, fiqh itu tidak universal. Jika ada rumusan fiqhiyah yang pernah dibuat pada sekitar abad VIII di salah satu kawasan tertentu di dunia, maka di Indonesia saat ini tampaknya masih memerlukan fiqh yang lebih relevan dengan tuntutan lokal. Rumusan seperti ini tidak bisa diklaim sebagai satu-satunya kebenaran. Ia tidak universal dan bahkan sangat lokal. Sementara Islam universal sendiri adalah Islam seperti apa yang pernah diwahyukan oleh Allah melalui malak Jibril kepada Nabi Muhammad yang selanjutnya menjadi muatan pokok kitab suci al-Qur’an. Bukan Islam seperti yang telah tertulis dalam kitab-kitab tafsir. Sebab hal itu sudah bermuatan tafsiran atau interpretasi seseorang tentang pesan-pesan wahyu. Atau, ia adalah Islam yang sudah diwarnai oleh subyektivitas para mufasir.

Lalu apa makna kehadiran buku Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah yang dialihkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Evolution of Fiqh? Buku karya Abu Ameenah Bilal Philips ini menjadi sangat penting terutama untuk memahami mengapa terdapat perbedaan rumusan fiqhiyah di antara sejumlah produk pemikiran para fuqaha. Buku ini, selain membicarakan sejarah tasyri, juga mengungkap pemikiran para Imam Madzhab yang banyak merumuskan ketentuan-ketentuan fiqhiyah yang saat ini tersebar dalam berbagai kitab fiqh.