Kesan awam jama’ah haji Indonesia tentang “maqam” Ibrahim adalah kuburan Nabi Ibrahim. Salat sunnah sesudah tawaf di belakang “maqam Ibrahim” artinya salat di belakang kuburan Nabi Ibrahim. Itulah kesan sebelum pernah menginjakkan kaki di Masjidil Haram. Tapi setelah berada di sana, dan berkesempatan salat serta berdoa beberapa saat di belakang Maqam Ibrahim, kesadaran awam itu lenyap ditelan keharuan dan kekhusyuan berdoa yang tak jarang diiringi deras air mata.

Kenapa sahabat Umar bin Khatab begitu terkagum-kagum pada pribadi Nabi Ibrahim sampai ia mengusulkan kepada Rasulullah agar “bekas tempat berdiri Nabi Ibrahim” ketika membangun Ka’bah dijadikan tempat salat?

Kekaguman yang sama pernah dialami teman haji kami asal Malang yang sudah lama tinggal di Jakarta. Ia teramat kagum, bagaimana Ibrahim berkelana dari pusat peradaban dunia yang satu ke pusat peradaban dunia lainnya dalam waktu yang sangat lama, tidak kurang dari 86 tahun. Peradaban Babilonia ditinggalkannya begitu saja, lalu berkunjung ke wilayah peradaban Klasik Yunani (Haraan), dan dijelajahi pula pusat peradaban Timur, Mesir. Pada zamannya ketiga pusat peradaban yang dijelajahi Ibrahim telah memperlihatkan tingkat kemajuan manusia yang luar biasa. Kemajuan dunia materi tak menyebabkan Ibrahim tertarik, apalagi tinggal dan menikmati segala kelezatan serta kemegahannya. Bagaikan manusia sufi, Ibrahim melanjutkan rihlah ruhaniyahnya ke “istana pusat kematian”, wadi gersang yang dikelilingi gunung-gunung batu keras. Ke situlah Ibrahim datang bersama istri (Hajar) dan bayi-nya (Ismail): mencari dan menemukan tapak lacak nenek moyangnya, Adam. Baru saja singgah beberapa saat di “istana pusat kematian”, Ibu muda dan bayi yang masih merah “dibiarkan”, lalu ditinggalkan Ibrahim.

Timbunan tebal pasir telah menyelimuti “istana pusat kematian”. Ibrahim datang kembali, dan menengok nasib dua orang kekasih yang telah ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Ajaib, berkat kesalehan, kedua manusia lemah itu mampu bertahan hidup. Upaya lanjutan pencarian tapak lacak nenek moyang diteruskan. Walau lebih sulit dari sekedar upaya archeolog, Ibrahim bersama Ismail berhasil menemukan Ka’bah, peninggalan nenek moyang manusia pertama di muka bumi. Di Ka’bah itulah Ibrahim, Ismail, dan Hajar merasakan getar-getar kehidupan yang sangat menentramkan jiwa. Sebagai suami, istri, dan anak, ketiganya secara kompak dan padu terus menerus mempertahankan posisi Ka’bah sebagai tempat paling ideal untuk menikmati kelezatan dan kesemerbakan kehidupan ruhani sambil tetap menancapkan dasar-dasar peradaban umat manusia.

Sampai di sini kekaguman teman kami asal Malang berhenti. Teman kami itu merasa malu mengenang penemuan Ibrahim, karena tak ada hal-hal membanggakan diri serta keluarganya dari upaya kehidupannya selama ini. Tak ada penemuan yang dapat memberi manfaat orang banyak, walau ia bergelar resmi sebagai “ahli”. Di kamar hotel Hilton yang megah, ia tak mau tidur di atas kasur empuk. Selama di Makkah ia berupaya dapat salat di belakang “maqam Ibrahim” walau yang paling jauh. Sambil memegang hp-nya, ia meneteskan air mata. Ia membaca ulang sms yg dikirim kepada keluarganya di tanah air: “Saya titip sejumlah uang untuk dia atau siapa saja yang tidak mampu membayar pengobatan-perawatan di rumah sakit”.

 

oleh: DR. H. Maman Suherman