oleh:  Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

 

Labbaika Allahumma Labbaik; Labbaika laa Syarika laka labbaik

Hadirin yang dimulyakan Allah.

Sejak keberangkatan kita meninggalkan sanak keluarga, melepaskan segala keakuan yang nyaris tak bermakna di hadapan Allah Azza wa Jalla, melepaskan segala bentuk pakaian kemanusiaan, dan sejak kemarin kita ganti dengan bungkus kefanaan, dua lembar kain ihram yang melilit tubuh kita, sebagai simbol kepasrahan total kita pada Sang Pencpta, dengan harapan kita dapat diterima sebagai hamba-hamba-Nya secara utuh dan kaaffah. Dan hari ini kita berada di tengah lautan manusia, menghadiri sebuah pertunjukan kenabian yang disebut ibadah haji. Bersamaan dengan berubahnya pakaian kita, kita pun seraya berikrar niyat sebagai ikhtiar mewujudkan ketaatan hanya kepada-Nya. Pakaian yang saat ini kita gunakan adalah sebuah lambang atas pola, kecenderungan, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu yang sering memisahkan kita dari saudara kita yang lain yang sering kita anggap berbeda. Pakaian yang menciptakan batas-batas kepalsuan yang sering menjadi sumber perpecahan dan bahkan diskriminasi di antara umat manusia; pakaian yang kerap hanya memilah manusia ke dalam kelompok-kelompok “keakuan”, kedudukan, keluarga, nilai-nilai, dan bukan “keakuan” sebagai manusia seutuhnya.

 

Sedemikian banyak batas-batas yang telah terjadi di dalam kehidupan kita, status-status “keakuan” itu pun tanpa disadari telah melahirkan algojo-algojo yang tak berperikemanusiaan, manusia-manusia yang kejam, yang telah memecahbelah persaudaraan umat manusia ke dalam kelompok-kelompok dan pihak-pihak yang dipertuan dengan yang diperhamba; penindas dengan yang tertindas; pemeras dengan yang diperas; yang kuat dengan yang lemah; yang kaya dengan yang miskin; yang cukup makan dengan yang kekurangan makan; yang dimuliakan dengan yang hina; yang berbahagia dengan yang malang; dan lain sebagainya. Umat manusia pun terpecah menjadi kelompok-kelompok yang tidak berguna.

 

Benar seperti apa yang diisyaratkan Rasulullah, ibarat buih yang tak memiliki arti apapun. Umat kita ini besar jumlahnya, tapi nyaris tak bertenaga karena rapuh dicerai-beraikan, diadudombakan, hanya karena kepentingan sesaaat sudara jadi musuh, kawan jadi lawan, tetangga jadi pesaing kepentingan, tak ada perekat yang dapat memperkuat kebersamaan. Hidup semakin jauh dari ketenangan, penuh intrik, penuh curiga, penuh prasangka, yang akhirnya kehidupan menjadi semakin sempit, ruang yang semula sangat leluasa tiba-tiba saja brubah menjadi sempit menghimpit langkah, karena tak ada lagi saudara yang dapat saling menitipkan, tapi menjadi lawan yang penuh permusuhan.

 

Kini, kita lepaskan pakaian-pakaian itu, kita lepaskan pembalut-pembalut ketakaburan itu, karena kita telah lepaskan, telah kita tinggalkan di Miqat bersamaan dengan bergantinya dengan pakaian kefanaan. Kini kita telah berganti dengan kain kafan, dua helai kain putih yang sederhana. Pakaian yang kita kenakan saat ini adalah pakaian yang sama seperti yang akan kita kenakan saat dipanggil Sang Pemilik nanti, untuk memasuki sesi pertanggungjawaban yang Maha Adil, saat maut telah menjempt kita. Maka saksikanlah betapa keseragaman ini sangat menakjubkan; gelombang jamaah yang amat menggetarkan; lautan manusia yang membangkitkan optimisme. Laksana setetes air, masuklah kalian ke dalam samudera haji. Genggam erat-erat kebersamaan ini agar menjadi lambang Tauhidullah sebagai wujud kepasrahan kepada Sang Pencipta Allah Azza wa Jalla.

 

Janganlah tinggi hati karena kita di sini bukan untuk mengunjungi seorang manusia, tetapi hendaklah kita merendahkan hati karena kita hendak mengunjungi Allah. Di rumah-Nya kita akan bersimpuh menyadari semua kefanaan yang melekat pada diri kita masing-masing. Hendaklah kita menjadi seorang manusia yang menyadari kefanaan, menjadi seorang manusia fana yang menyadari eksistensi dirinya secara utuh dan apa adanya.

 

Saat ini kita tengah berada di Padang Arafah. Meski diliputi rasa malu karena merasa tak pantas untuk menjadi tamu-tamu Allah, kita tetap berusaha mendekatkan diri kepada-Nya. Di tempat ini, saat ini, kita akan menjerit bertaubat menyesali betapa berat beban kesalahan yang kita pikul, karena betapa lalainya kita menjalankan perintah Allah, dan betapa ringannya kita melakukan berbagai larangan-Nya.

 

Sejak kemarin dengan tulus kita kumandangkan talbiyah: Labbaika Allahumma Labbaik; Labbaika laa Syarika laka labbaik. Sejak kemarin pula kita wakafkan seluruh jiwa dan raga kita. Di padang ‘Arafah ini kita akan menjerit bersama, memanggil Asma-Nya, menyerahkan segala milik dan eksistensi kita, sebelum Allah sendiri yang memanggil kita untuk meminta pertanggungjawaban hidup yang dititipkan-Nya kepada kita. Gema talbiyah itu terasa merasuk menggugah kesadaran, betapa kita masih gegabah menjalani hidup, betapa kita telah menyia-nyiakan banyak kesempatan untuk tetap dekat dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Berapa persen dari seluruh usia yang Allah titipkan kepada kita, telah kita gunakan untuk merawat amanah kebersamaan dengan sesama manusia.

 

Hadirin rahimakumullah,

Kesanggupan mengikatkan diri di antara kita memang tidak sederhana. Ia masih membutuhkan kesadaran total sebagai sesama manusia. Di hadapan Allah kita sama. Di hadapan Allah juga kita tidak berbeda. Yang paling maha diantara kita adalah orang yang paling taqwa. Kesadaran inilah yang kerap masih berjarak dari diri kita. Kita masih sering memandang orang lain berbeda, hanya karena persoalan-persoalan yang tak seberapa. Mungkin, masih ada di antara kita yang menjadi begitu berbeda, hanya karena beda cara melaksanakan ibadah tertentu, kita tiba-tiba jadi berbeda hanya karena beda bahasa, kita tiba-tiba jadi berbeda hanya karena beda pilihan politik. Padahal kita semua sama, bersaksi atas keesaan Tuhan yang sama, dan bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah yang sama. Mengapa kita bisa tiba-tiba berbeda?

 

Kita pun tak segan-segan mencaci, memaki, dan bahkan menuduh yang berlebih-lebihan hanya gara-gara berbeda dalam cara merawat dan memelihara. Padahal masjid tempat kita beribadah sama, tempat bekerja kita sama, takbiratul ihram kita sama. bahkan tidak ada satu pun alasan untuk berbeda; Tapi begitu kuatnya bisikan syaitan menggelincirkan itikad baik kita, kita pun tiba-tiba saja jadi berbeda dan bahkan berseberangan. Inilah penyakit akut umat kita yang masih sering tidak kita sadari. Seolah-olah kita dapat hidup sendiri. Padahal kita pasti masih butuh kekuatan orang lain untuk saling bahu membahu, agar musuh-musuh Allah tak lagi sanggup memecah belah kita.

 

Marilah kita introspeksi, kita lakukan mawas diri secara total untuk menemukan jati diri kita yang sesungguhnya. Benar, sebagai umat pengikut Rasulullah Muhammad Saw, kita masih sering terpinggirkan, terutama oleh kekuatan-kekuatan nafsu kebinatangan yang masih lebih kuat mengalahkan kemanusiaan. Kita tergeser oleh kepentingan paragmatis yang lebih bersifat sesaat. Kita sering terpinggirkan oleh pihak-pihak yang tidak ridla dengan kebesaran umat dan agama kita. Tapi kita masih kuat memiliki sesuatu yang lebih kokoh dan permanen, yaitu kebersamaan sebagai umat manusia. Masalah ini yang berkali-kali Allah dan Rasul-Nya mengamanatkan kepada kita. Tapi kita sering lupa hanya karena terhalang oleh kepentingan sesaat, kita lupa hanya karena terhalang perbedaan spele, perbedaan kulit, perbedaan bahasa, perbedaan status, dan lain-lain.

 

Labbaika Allahumma Labbaik; Labbaika laa Syarika laka labbaik.

Perbedaan itu sering-sering semakin terasa tajam ketika perbedaan memasuki wilayah politik yang sering membuat kita semakin lelah. Ketika memasuki wilayah yang satu ini, tiba-tiba saja kita menjadi tidak dewasa, rasionalitas kita dipinggirkan, dan dengan terpaksa kita mengedepankan emosi primordialisme yang sangat merugikan kebersamaan. Dalam percaturan politik lokal ataupun nasional, posisi umat kerap mengalami masa-masa pasang-surut. Adakalanya, Islam memberikan sinar penerangan terutama dalam hal visi kemanusiaan, ada saatnya pula praktek politik Islam dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat yang cenderung berpihak pada kapitalisme dan pragmatisme. Tidak jarang Islam dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang tidak ikhlas dipandu oleh hamba-hamba Allah; tidak jarang pula citra Islam seperti yang akhir-akhir ini sering dikonstruksikan oleh pihak-pihak yang tidak rela dengan keberadaan Islam, sehingga yang muncul justru sifat-sifat dan bentuk-bentuk yang destruktif dan negatif.

 

Situasi seperti itu sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan citra Islam dan umatnya, karena predikat-predikat partikular, kesan-kesan fundamental, sikap-sikap reaksioner dan fanatisme yang seolah-olah telah melekat pada agama kita dan umatnya. Lalu mudah saja kita pun dapat bertanya, betulkah Islam sebagai agama cenderung bersifat monokultur atau lebih bernuansa monolitik sehingga bertentangan dengan modernisme, berlawanan dengan demokrasi dan bahkan berseberangan dengan pluralisme? Akhir-akhir ini sering kita dipojokkan sebagai pengikut agama yang mereka sendiri citrakan. Terhadap pertanyaan yang sangat tendensius ini, marilah kita jawab dengan mengungkap pernyataan Allah dalam al-Qur’an, surah al-Baqarah ayat 148:

 

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

 

Inilah antara lain pengakuan Al-Qur’an, yang dengan tegas menyatakan bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan hidupnya. Dalam keadaan sepert itu, dengan keragaman dan perbedaan seperti itu pula ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah Swt. pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final. Rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah Swt. sementara tugas manusia adalah menerima, memahami dan menjalaninya dengan tulus.

 

Seperti kita yakini bersama, Al-Qur’an merupakan sistem nilai yang memberikan pengertian tentang baik dan buruk yang digunakan sebagai sarana interpretasi dalam interaksi manusia, baik secara vertikal (habl min Allah) maupun horisontal (habl min al-nas). Selain itu Al-Qur’an juga menjadi kerangka acuan untuk memahami realitas jagat, baik empiris maupun transedental. Ia selalu terbuka bagi setiap interpretasi sehingga tidak lapuk dimakan zaman. Perbedaan yang timbul dari hasil interpretasi dipandang sebagai rahmat karena akan mendatangkan peningkatan kecerdasan, sikap kritis dan semangat berkompetisi.

 

Labbaikallahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik,

 

Tentang perbedaan sebagai bagian dari kehendak Allah SWT, Al-Hujurat ayat 13:

 

 

 

Umat Islam harus menerima kenyataan kemajemukan budaya. Surat tersebut menegaskan, Allah Swt. menciptakan manusia dari jenis kelamin pria dan wanita, menjadikan mereka berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (etnis), dengan tujuan agar mereka saling mengenal dan menghargai. Dari kemajemukan itu yang paling mulia di sisi Allah Swt adalah mereka yang paling bertaqwa kepadanya. Kemajemukan dalam konteks kedua ayat tersebut menunjukkan pada keanekaragaman budaya -seperti gender, ras, suku, dan bangsa- dalam rangka mendatangkan kebaikan dan kedamaian di muka bumi.

 

Berdasarkan kedua ayat itu maka kecurigaan tentang sifat Islam yang anti-plural sangat tidak beralasan dari segi ideologis. Oleh karenanya menempatkan posisi berlawanan antara Islam dengan modernisme adalah sangat keliru. Pluralisme dalam masyarakat modern saat ini memang diakui sedang berhadapan dengan ide-ide yang sering menyalahartikan perbedaan dengan sangat keliru. Etika Islam sama sekali tidak bertentangan dengan modernisasi. Bila setiap orang yang mengaku Islam sebagai agama anutannya dapat mencoba memahami secara mendalam etika pluralitas yang terdapat dalam Al-Qur’an seperti itu, maka tidak perlu lagi ada ketegangan, permusuhan dan bahkan konflik dengan sesama yang berbeda-beda bahasa, etnik, dan bahkan agama sekalipun, sejauh mereka tidak saling memaksakan.

 

Perlu kita yakini bersama bahwa sistem nilai plural adalah sebuah Aturan Tuhan (Sunnat Allah) yang tidak mungkin berubah, tak mudah diubah, apalagi dilawan dan diingkari. Barang siapa yang mencoba mengingkari hukum kemajemukan budaya ataupun kemajemukan-kemajemukan yang lainnya, maka akan menimbulkan ketidakstabilan sosial yang tidak sederhana, bahkan pergolakan yang tiada berkesudahan. Bahkan di dalam Al-Qur’an diakui keberadaan agama lain yang memiliki kitab suci dan menyerukan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan mereka. Karena itu kalau pihak-pihak di luar Islam berusaha memaksakan kehendak maka umat Islam diwajibkan kukuh dengan identitasnya sebagai kaum yang pasrah hanya kepada Allah Swt.

 

Hadirin jamaah haji rahimakumullah,

Masa kejayaan Islam yang pluralistik memang telah berlalu, namun spirit pluralisme yang ada dalam Al-Qur’an tetap menyala hingga saat ini sehingga perlu direalisasikan dalam kehidupan nyata. Ini bukan merupakan kemustahilan karena ada kesejajaran antara pluralisme Islam dan kemajemukan modernisme. Tapi ironisnya, pluralisme sebagai ideologi Islam kadang-kadang masih menyimpang dari praktik-praktik empirik khususnya dalam kehidupan politik yang sering-sering sangat memprihatinkan. Hal ini merupakan bentuk kegagalan karena berbagai “interest politik yang picik” masih belum mampu diredusir, baik oleh sebagian umat Islam secara khusus maupun umat manusia secara umum.

 

Langkah bijaksana yang paling mungkin kita lakukan adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu agenda yang perlu dirumuskan bagi umat Islam di tanah air khususnya adalah membangun kesepahaman tentang kebhinnekaan secara lebih produktif, dalam spirit ukhuwah yang lebih inkusif dan universal. Tentu saja ini merupakan pekerjaan besar karena umat Islam harus mampu menahan diri dari hasrat alami manusia, sehingga mampu bersikap toleran kepada pihak lain dan menghidari hegemoni dan dominasi dalam segala aspeknya, dan pada saat yang sama dituntut pula peran negara yang positif dalam memperlakukan agama, sebab agama bukan semata-mata sebagai instrumen mobilisasi politik tetapi yang lebih penting lagi justeru sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan masyarakatnya.

 

Hadirin rahimakumullah,

Inilah di antara pekerjaan besar kita di tengah kebhinnekaan yang dari hari ke hari terus diuji ini. Sebagai ujian kemanusiaan, kita telah lolos dari jeratan hawa nafsu dengan mencoba mengedepankan prioritas kepasrahan dalam ibadah haji ini, tinggal bagaimana kita dapat merealisasikannya dalam berkehidupan yang sesungguhnya dengan belajar banyak dari kearifan Arafah hari ini. Marilah sekarang kita implementasikan dalam perwujudan yang lebih manusiawi, dengan sanggup menahan diri, menghindari perpecahan, menjauhi gontok-gontokan, dan sebaliknya berusaha mendekatkan diri satu sama lain, untuk mewujudkan kebersamaan yang hakiki. Hanya dengan itulah kita akan menjadi umat yang besar, umat yang tangguh, yang oleh Allah disebut sebagai “khaira ummah”. Jadi, tidak selayaknya orang Islam mengklaim mayoritas dengan mengedepankan hegemoni yang menindas; demikian pula sebaliknya, siapapun tidak bisa mengklaim sebagai kelompok kecil yang tertindas, sebab jangan-jangan mereka sedang menindas dirinya sendiri.

 

Labbaikallahumma labbaik, labbaika lasyarikalaka labbaik,

 

Hari ini kita bersimpuh di ‘Arafah, bersumpah dan berserah diri kepada Allah SWT. Kita datang ke tempat ini dengan membawa sejumlah dosa dan kesalahan. Kita datang ketempat ini karena kita yakin bahwa Allah SWT adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun. Pada saat ini Allah SWT memanggil para malaikat, agar mereka menyaksikan bahwa Allah SWT akan mengampuni dosa-dosa hamba-hamba-Nya yang bertaubat pada saat Wukuf di ‘Arafah.

 

 

 

Ya Allah,

Hamba-hamba-Mu datang ke tempat ini, atas izin dan ridlo-Mu, mengikuti Sunnah Rasul-Mu.

Ya Allah,

Engkau pasti Maha Mengetahui apa-apa yang tergetar pada hati kami.

Engkau pun pasti Maha Mengetahui apa-apa yang selama ini kami lakukan dan apa-apa yang selama ini tidak kami lakukan.

Ya Allah,

Masih banyak titah perintah-Mu yang kami abaikan bahkan masih banyak pula laranan-larangan-Mu yang masih kami kerjakan.

Kami yakin Engkau adalah Maha Pemaaf dan Maha Pengampun.

Engkau Ghofururrohim.

Ya Allah,

Ampunilah semua dosa dan kesalahan kami, semua dosa dan kesalahan Ayah dan Ibu kami, semua dosa dan kesalahan para guru dan pemimpin kami.

Bimbinglah kami agar kami tetap menajdi hamba-hamba-Mu yang senantiasa mencintai-Mu dan dicintai oleh-Mu.

Hamba-hamba-Mu yang senantiasa istiqomah melaksanakan titah perintah-Mu dan menjauhi larangan-larangan-Mu.

 

Ya Allah Tuhan Yang Maha Rahman, Engkau pasti Maha Tahu,

Bangsa kami saat ini tengah menghadapi banyak ujian dan cobaan,

Terutama ujian kebersamaan.

Bangsa kami tengah menghadapi banyak godaan,

Terutama godaan perpecahan.

Bangsa kami masih banyak memiliki agenda yang terlupakan.

Banyak di antara hamba-hamba-Mu yang kini masih merintih kelaparan

Kebodohan umat pun masih belum menemukan titik terang

Hak hidup sehat masih menjadi barang langka sebagian saudara bagi kami

Karena itu berilah kami wahai Tuhan Yang Maha Pemberi

Kekuatan iman dan keteguhan keyakinan; keperkasaan dan kesabaran

Agar kami dapat keluar dari himpitan nestapa dalam jalan yang Engkau bentangkan

Agar kami dapat sabar menerima apapun yang Engkau berikan

Agar kami tetap Engkau terima sebagai pengabdi yang istiqamah dengan ajaran-Mu dan rasul utusan-Mu.

 

Ya Rab Tuhan Yang Maha Perkasa,

Jika fitnah tidak bisa kami hindari

Jika kekerasan masih menjadi pilihan sebagian bangsa kami

Jika konflik masih saja terus menodai keutuhan ukhuwan di antara kami

Jika kejujuran masih asing di tengah kekuasaan para pemimpin kami

Tolonglah kami wahai Tuhan Yang Maha Penolong

Bentangkan hidayah dan rahmat-Mu kepada kami

Agar kami mampu menepis fitnah dan melunakkan nafsu kebinatangan yang selama ini masih kuat memenjara perilaku kami

 

Curahkan kelembutan cahaya-Mu bagi para pemimpin kami

Bukakan pintu hati ketulusan bagi kami

Agar tidak terkurung dalam keserakahan yang dapat melupakan zat-Mu

Agar dzikir kepada-Mu tetap menjadi pakaian kami setiap waktu

 

Ya Allah Yang Maha Rahiem,

Jadikan Wukuf di Padang ‘Arafah yang Engkau berkati ini sebagai momentum untuk pembersihan diri dan peningkatan kualitas iman kami

Jangan Engkau jadikan Arafah ini hanya rasa panas bagi kami

Berikan kesejukan iman pada diri kami

 

Terimalah rintihan ini wahai Tuhan Yang Maha Mendengar

Kabulkan segala permintaan kami wahai Tuhan Yang Maha Pemberi

 

Âmin yâ robbal ‘âlamîn