Pagi-pagi sekali para jamaah telah berbenah diri. Seorang Kyai memimpin do’a. Sementara para jamaah mengamini dengan penuh kekhusuan. Rasa tulus menyelimuti wujud kefanaan insani, seolah melengkapi kesadaran spiritualitas mengiringi kepergian kami. Penuh dengan do’a. Sehingga proses pengkondisian motivasi pun semakin utuh, dengan kesadaran yang sama: “Tour Ruhani menuju Ridla Tuhan.” Bahkan ketika nama para jamaah disebut satu persatu, ada kepasrahan, seolah penyebutan itu adalah panggilan atas nama Tuhan.

Aku memang sudah biasa pergi jauh meninggalkan rumah lebih dari satu minggu. Mungkin karena urusan tugas kerja, atau sekedar perjalanan biasa. Anak istri pun telah terbiasa jika di rumah tanpa kehadiranku di tengah-tengah mereka. Tapi kali ini ada kesadaran yang berbeda. Ada suasana yang membedakan di antara dua jenis kepergian ini. Aku meninggalkan keluarga untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Perjalanan haji memang bukan perjalanan biasa. Ia merupakan perjalanan ibadah yang segala sesuatunya dilakukan dengan mengikuti tuntunan ajaran.

Ada ikatan yang mengentalkan pertautan aku dan keluarga. Kutatap wajah anak-anakku satu persatu. Kudekap jasadnya yang mungil seolah kami akan berpisah untuk waktu yang sangat lama. Senyumnya menggoda seakan ikut melompat berlari bersama kepergianku. Kulihat mata istriku pun berkaca-kaca. Tapi aku tetap mencoba tegar. Aku bangkit meyakinkan. Agar mereka senang atas kepergianku. Aku akan segera kembali dalam kefanaan ruhani. Tapi itupun jika Tuhan menghendaki.

Tangan mereka bergerak pelan, melambaikan perasaan yang penuh do’a, ketika bis yang kutunggangi mulai melaju. Hampir saja aku tak sanggup menatapnya terlalu lama. Sebab senyum mereka mulai berubah menjadi tangis. Mulut mereka tampak bergerak. Tapi aku sudah tidak lagi mampu mendengarkan suara yang mereka ucapkan. Meski aku berusaha memahami gerakan bibir yang tampak merangkai kata menambah kepiluan suasana. Mereka berdo’a. Hingga aku tidak bisa lagi menyaksikan pemandangan yang sangat mengharukan itu.

Inilah perjalanan yang diimpikan oleh setiap Muslim. Sebuah pengembaraan spiritual untuk memenuhi undangan Tuhan. Menjadi tamu suci untuk menemui Ka’bah penghuni utama Rumah Tuhan. Sejak tadi malam, pikiranku telah mendahului berthowaf di Masjid al-Haram. Aku ingin segera melompat mengikuti bayangan itu. Aku ingin segera berdiri di depan Hajar Aswad. Tapi aku masih harus menatap mereka yang sengaja mengantar hingga tatapan matanya terputus oleh jarak yang semakin menjauh.

Aku masih harus menembus jarak yang teramat panjang. Aku memang ditakdirkan menjadi penghuni negeri yang terhalang lebar dari tanah kelahiran Islam. Makkah bukan kota kelahiranku. Madinah pun bukan tempat hidupku sehari-hari. Hingga untuk memenuhi panggilan-Mu, aku harus menempuhnya dalam tempo yang cukup lama. Perjalanan udara pun cukup melelahkan. Melelahkan, meski terasa ada nuansa tersendiri ketika harus memenuhi harapan menuju Rumah Tuhan.

Shalat dalam posisi duduk. Suatu keringanan (ruhshoh) yang Tuhan berikan bagi siapapun yang sedang melakukan perjalanan. Dan juga bertayamum. Setiap kali waktu shalat tiba, sang ruhshoh pun berbisik pelan: “Shalatlah sambil duduk. Pusatkan niyat dalam hati. Lakukan setiap gerakan shalat dengan isyarat.” Tak terasa, tanganpun terangkat pelan, sambil membalas bisikan itu pada Tuhan. “Tuhan, selamatkan kami. Perjalanan ini semata-mata untuk menuju Rumah-Mu. Engkau beri ketenangan, sekaligus cairkan segala kegelisahan.”

Gambaran Ka’bah yang terlukis dalam bayang selalu menanti. Suasana Raudhoh di Masjid Nabawi pun seolah tengah menunggu kedatanganku. Terlukis pula iring-iringan lautan manusia di antara Shafa dan Marwah yang terus mengusik perasaanku yang semakin rindu. Aku ingin segera tiba. Menikmati seluruh suasana yang tidak bisa setiap hari kulalui.

Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, telah di depan mata. Tampak hamparan keindahan kota, meski terkesan mati, karena waktu telah memasuki malam hari. Di sekeliling bandara, terlihat lampu gemerlap memagari suasana kota hingga tampak semakin cantik dan bercahaya. Sulit dibayangkan, jika ratusan tahun yang lalu, ketika Nabi gelisah lalu berhijrah dari Makkah menuju Madinah, kota ini masih diselimuti batu-batu dan padang pasir yang tandus.

Kini semuanya telah berubah. Para pejalan kaki pun telah mengubah cara dengan kendaraan cepat yang dilengkapi fasilitas AC. Unta-unta penarik barang berubah menjadi kendaraan mewah atau bahkan kapal terbang. Dan batu kerikil padang pasir pun telah rata menjadi jalan berlapis beton berselimut aspal. Indah, megah, kaya dan serba ada. Inikah kenyataan negeri yang pernah dipinta Ibrahim ‘alaihissalam? Sebuah negeri yang subur makmur, dengan ridla Yang Maha Kuasa.

Kurang lebih satu jam berikutnya, iring-iringan kendaraan bis melanjutkan perjalannya membawa kami menuju Madinah. Perjalanan yang diwarnai kerinduan akan dua kota haram, Makkah dan Madinah. Rasanya, kendaraan ini tengah meluncur menuju Ka’bah, atau menuju Masjid Nabawi tempat terbaringnya jasad Nabi untuk selamanya.

Pada tingkat emosi keagamaan tertentu, terkadang ketidaksabaran seperti ini muncul menggoda keikhlasan suasana beribadah. Tapi kadang juga ada rasa was-was, khawatir jika Ka’bah menolak kehadiranku lantaran kedekatan antara aku dan Dia telah sering terlalaikan.

 

oleh: Prof. Dr. H. Asep Saeful Muhtadi., MA