Menuai Kesucian di Arafah
Oleh: Prof. Dr. KH. Miftah Faridl
Kita patut bersyukur, karena saat ini kita tengah berkumpul di ruang tamu Allah, padang Arafah. Kita tengah menikmati jamuan Allah berupa maghfirah yang tak ternilai harganya. Kita menjadi manusia yang sangat istimewa, karena Allah tengah memerintahkan para malaikat untuk melayani kita, memberikan apapun yang kita minta. Karena itu mintalah wahai hamba-hamba Allah, apa yang kalian butuhkan dari Allah.
Di tempat ini, ribuan tahun yang lalu, Adam dan hawa bertemu kembali setelah lama berpisah. Pada pertemuan yang sarat muatan teologis itu, mereka berserah diri bersama kepada Allah, seraya memohon ampun atas kekhilafan yang pernah mereka lakukan. Permohonan itu diabadikan dalam al-Qur’an, dan mereka wariskan kepada kita. Permohonan itu pula yang akan kita baca hari ini dan di sini.
Rabbanaa dzolamnaa anfusanaa wa illam taghfirlanaa watarhamnaa lanakuunanna minal khoosiriin.
Tuhan, kami telah mendzalimi diri kami sendiri. Seandainya Engkau tidak memaafkan kami, tentulah kami termasuk orang-orang yang merugi.
Di padang Arafah ini pula, 15 abad yang lalu, Rasulullah menyampaikan pesan-pesan moral yang sangat monumental. Bertepatan dengan momentum Haji Wada bagi Rasulullah, pesan itu disampaikan kepada para shahabatnya. Dan saat ini, kita pun akan menerimanya sebagai salah satu wujud komitmen seorang Muslim untuk mengikuti setiap ajaran Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah menitipkan pesan-pesan fundamental:
1. Kewajiban setiap muslim untuk berlaku adil, jujur dan ramah.
Pesan Nabi itu menjadi ciri penting ibadah haji. Haji merupakan simbol cinta kasih, perdamaian, persaudaraan, dan kesalehan. Karena pada perjalanan ritual haji inilah manusia dapat menemukan kemanusiaannya yang sejati. Kearifan dalam haji juga mengajarkan kepada kita cara-cara menanggung penderitaan dengan menempatkannya dalam konteks yang bermakna.
Itulah sebabnya, atas ketulusan yang diperankan para jamaah yang memenuhi padang Arafah ini, Allah pun secara khusus memberikan apresiasi yang sangat tinggi. Allah memanggil para malaikat-Nya, seraya berseru:
”Hai malaikat-malaikat-Ku, hamba-hamba-Ku telah datang dari berbagai pelosok bumi. Mereka datang dengan berpakaian yang penuh debu; mereka datang dengan rambut yang kusut masai. Saksikanlah oleh kalian wahai para malaikat! Aku maafkan semua dosa dan kesalahan orang-orang yang datang hari ini ke tempat ini. Aku maafkan mereka atas segala perbuatan khilaf yang pernah meraka lakukan.”
Siapa yang tidak bahagia, ketika pertemuan raksasa di medan Arafah ini memancarkan semangat kebersamaan yang hakiki, kita berada bersama mereka. Kebersamaan yang senantiasa kita rindukan. Wujud kebersamaan yang mungkin sudah sangat sulit kita temukan dalam perjalanan hidup kita sehari-hari. Kebersamaan yang kini telah terikat pada ukuran-ukuran pragmatis dalam rentang untung dan rugi.
Tuhan, kami berterima kasih kepada-Mu. Engkau terlalu baik pada saat kami tidak sanggup berbuat baik. Engkau terlalu sayang pada saat kami tidak mampu menebarkan kasih sayang bersama saudara dan tetangga kami. Karena itu kami mohon ya Allah, jangan Engkau cabut kembali kebahagiaan ini.
Tanamkan semangat Arafah ini untuk terus mengikat kebersamaan pada saat kami kembali ke negeri kami, pada saat kami kemabali ke tempat kerja kami, pada saat kami berkumpul kembali bersama saudara-saudara kami, pada saat kami berinteraksi kembali dengan tetangga-tetangga kami, yang kaya maupun yang papa.
Tuhan, sungguh kami sangat berbahagia saat ini. Tapi, pada saat ini pula kami tak kuasa menahan tangis, karena saudara-saudara kami di tanah air tidak ikut berbahagia bersama kami di sini. Tuhan, sejujurnya kami tak kuasa. Ketika kebahagiaan ini dibisikkan di tengah berbagai penderitaan yang saat ini tengah melilit bangsa kami, ia menjadi terasa sangat mengiris hati.
Saat ini jutaan saudara kami tengah menangis menghadapi tikaman harga yang melambung, ancaman pengangguran, paksaan untuk menghentikan sekolah, kerawanan kesehatan dan keamanan. Jumlah rakyat miskin semakin bertambah, kondisi kesehatan pun terus menurun, bahkan musibah dan ujian seolah tidak pernah mengenal kata akhir, yang semuanya semata-mata karena kepongahan dan kekeliruan ulah manusia.
Engkau telah menitipkan kekayaan negeri kepada kami, tapi kemi menyia-nyiakannya. Hutan yang lebat kami babat. Alam yang subur kami rusak. Air yang jernih kami cemari dengan berbagai polusi. Alam pun kini tidak lagi bersahabat dengan kami. Dan Engkau turunkan berbagai cobaan musibah kepada bangsa kami, Engkau nampakkan berbagai bencana yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Engkau juga telah mengamahkan jabatan kepada kami, tapi kami mengkhianatinya. Engkau telah titipkan kepada kami orang-orang miskin dan anak yatim, tapi kami menelantarkannya.
Terhadap mereka yang punya, Engkau mengingatkan, bahwa pada harta mereka, hak yang tersurat bagi yang meminta pertolongan (QS, 70: 24-25). Engkau pun menjanjikan: Sesungguhnya mereka yang suka memberi pertolongan, itulah yang berbahagia (QS, 7: 157). Sebaliknya, ketidaksediaan membela yang papa, merupakan sumber derita.
Rasulullah SAW mengingatkan kita, bahwa “Bila masyarakat sudah membenci orang-orang miskin, dan menonjol-nonjolkan kehidupan dunia, serta rakus dalam menimbun harta, maka mereka akan ditimpa empat bencana: zaman yang berat, pemimpinn yang lalim, penegak hukum yang khianat, dan musuh yang mengancam” (HR. Al-Dailami).
Karena itu, seperti Engkau janjikan kepada kami, di tempat ini, di padang Arafah yang Engkau bentangkan jalan ampunan bagi kami, bakarlah segala nafsu kebinatangan yang selama ini menjadi pakaian sehari-hari kami. Bakarlah segala sifat buruk yang selama ini memenjara kehidupan kami. Lepaskan segala pakaian egoisme dan kemunafikan kami, sehingga kami kembali menjadi bersih, seperti nampak pada lautan putih yang disimbolisasi dalam pakaian ihrom yang menjadi penghuni Arafah saat ini.
Di tempat yang Engkau istimewakan ini, ikatkan kami pada agama-Mu. Agar kami tidak lagi pernah melecehkan aajaran-Mu. Kami yakin, di tengah berbagai kebuntuan saat ini, agama harus menjadi solusi, meskipun solusi agama memang tidak selalu singkat menawarkan jawaban, bahkan mungkin terasa seolah hanya meninabobokan korban. Solusi agama semestinya bersifat kosmik, menyeru dan menegur semua pihak keluar dari kegelapan dosa menuju ketenangan hati, dengan menebarkan kasih sayang kepada sesama.
Jamaah yang berbahagia,
Kepada mereka yang ditimpa kesulitan, Allah tetap menyapa agar terus berjuang dalam kesabaran. Allah pun membukakan kesadaran bahwa “bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS, 94: 5). Kita harus mampu memelihara kesadaran, bahwa jalan menuju kebahagiaan memang tidak selalu mudah dan lancar. Bahkan untuk mencapai kebahagiaan dalam kesulitan seperti pada situasi yang saat ini tengah kita hadapi, selalu menuntut kebersahajaan dan solidaritas. Sikap empati dan mawas diri jauh akan lebih membahagiakan sesama dari pada pemberian nyata dalam bentuk yang sesungguhnya hanya akan menyengsarakan.
Kepada hamba-hamba Allah yang tengah mendapat kebahagiaan; ingatlah bahwa puncak kebahagiaan tidak terletak pada seberapa besar materi yang diperoleh, melainkan terletak pada kesanggupan memberi dan mensyukuri rahmat Ilahi dengan menghidmati kesenangan secara wajar. Kita tidak bisa mengukur kebahagiaan secara matematis. Kita tidak akan mampu memenuhi semua kebahagiaan dalam ukuran yang kita tentukan sendiri. Tidak juga pada tempatnya bagi kita untuk membuat ukuran kebahagiaan ataupun kesengsaraan untuk melihat kebahagiaan ataupun kesengsaraan orang lain. Kita hanyalah penerima amanah untuk mensyukuri kebahagiaan yang kita peroleh, sekaligus membagi kebahagiaan itu bersama orang-orang yang belum beruntung.
Labbaika Allahumma Labbaika
Labbaika laa Syarika laka labbaika
Innal Hamda wa ni’mata laka wal mulka la syarika laka.
Yaa Allah..
Kedatangan kami di sini, bukan karena kami sanggup,
Kehadiran kami di padang yang Engkau muliakan ini, bukan karena kami telah bersih,
Justeru kami adalah hamba-hamba yang lemah dan penuh noda.
Jika Engkau berkenan, kami ingin membakar semua watak kebinatangan kami,
Kami ingin terbebas dari penjara egoisme yang kami bangun sendiri.
Karena itu ya Allah..
Bentangkan jalan lurus kepada kami, agar kami tidak lagi lelah mengikuti jalan hidup yang kami sendiri tidak pernah mengerti.
Suburkan benih-benih kemaha-rahman-rahiman-Mu dalam diri kami, agar kami dapat dengan tulus mencintai saudara-saudara kami tanpa membedakan status sosial yang kami sendiri tidak sanggup menghadapinya.
Putihkan hati dan pikiran kami, seputih lautan ihram yang hari ini menutupi seluruh tubuh kami, agar kami dapat berpikir jernih tentang segala perintah dan larangan-Mu.
Tumbuh-suburkan benih-benih ketaatan kami kepada-Mu, agar kami tetap tulus mengikuti sunnah-sunnah Rasul-Mu.
Bukakan pintu hati kami, setelah Engkau anugrahkan kemabruran atas ibadah yang saat ini tengah kami jalani, agar kami dapat memelihara kesucian dari-Mu.