Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Bismillahirrahmanirrahim

 

  1. Iman Islam dan Ahlak.

Seseorang dapat dikatakan sebagai Muslim, apabila dengan sungguh-sungguh ia menyatakan dua kalimah syahadat, yaitu Asyhadu alla ilaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, yang artinya saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Atau ditambah dengan ikrar lain yaitu Radhitu billahi rabban wabil Islami dinan wabi Muhammadinnabiyyan warasulan, yang artinya saya rela Allah Tuhanku, Islam agamaku dan Nabi Muhammad adalah Rasul Allah.

Selanjutnya yang bersangkutan wajib meyakini apa-apa yang diajarkan oleh Al Qur’an sebagai sesuatu yang hak dan benar, baik yang menyangkut ‘aqidah keimanan maupun yang menyangkut syari’ah, yaitu petunjuk pelaksanaan yang mengatur hubungan dirinya dengan Allah dan hubungan dirinya dengan sesama manusia dan alam semesta. Keyakinannya itu kemudian harus diwujudkan dalam praktek kehidupannya sehari-hari.

Oleh karenanya akhlak seorang Muslim tentu nampak pada praktek kehidupannya, yang secara konsekuen melaksanakan segala titah perintah Allah dan secara konsekuen pula menjauhi segala apa  yang dilarang oleh Allah SWT.

Inilah ma’na dari pernyataan Rasulullah SAW ketika beliau menjawab pertanyaan tentang iman; Qul amantu billahi tsummastaqim, Nyatakan olehmu saya beriman kepada Allah. Dan kemudian konsekwenlah kamu dengan pengakuanmu itu.

“Dan sesungguhnya orang yang beriman itu ialah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan senantiasa berjuang dengan harta dan diri mereka di jalan Allah. Itulah orang-orang yang sebenarnya beriman.” (Q.S. Al Hujurat, 49:15).

Beberapa penulis membuat rumusan tentang pengertian Islam dengan kepasrahan yang tulus kepada apa-apa yang dikehendaki Allah SWT dan merumuskan pengertian iman dengan keyakinan dalam hati, pernyataan dengan lidah dan pembuktian dengan amal perbuatan.

Seorang Muslim yang baik adalah orang yang memiliki keyakinan yang teguh terhadap Islam, dan mempraktekannya dalam setiap aspek kehidupan. Aspek kehidupan yang diatur oleh Islam, meliputi aspek aqidah dan syari’ah, aspek keimanan dan aspek pengamalan yang membuahkan ahlak.

Ahlak Islam bersumber dari dua sumber hukum pokok seorang Muslim yaitu Al Qur’an dan As Sunnah. sedang untuk menetapkan suatu keputusan hukum yang tidak diatur secara tersurat dalam Al Qur’an dan As Sunnah, maka ummat Islam terutama para ulama Islam diberi wewenang untuk melakukan ijtihad, menggunakan penalaran yang ‘arif secara optimal untuk menetapkan sesuatu keputusan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip umum yang ada dalam Al Qur’an atau As Sunnah tersebut yang didalamnya terkandung muatan-muatan kemanfaatan dan kemaslahatan.

Konkritnya ialah seorang Muslim yang baik akan nampak pada praktek ibadahnya, praktek bisnisnya, kehidupan keluarganya, sikap terhadap istri/suaminya, buruhnya, majikannya dan lain-lain. Inilah ma’na dari perintah Allah SWT dalam Al Qur’an: … Udkhulu fissilmi kaffah… = … Masuk Islamlah kamu secara utuh dan menyeluruh…

Adalah para ulama yang kemudiaan membuat suatu rumusan dari hasil kajian dan analisa terhadap berbagai ayat dan hadits Rasulullah SAW, dengan pernyataan: Mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Yang artinya, sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, maka janganlah ditinggalkan seluruhnya. Dan tentunya menjadi tugas setiap Muslim untuk berusaha dengan sekuat tenaga agar dapat melaksanakan seluruh ajaran Islam yang menjadi keyakinan hidupnya.

Dalam kaitan dengan keimanan dan keislaman yang lengkap, Al Qur’an menerangkan tentang berbagai macam kelompok manusia sebagai berikut:

Pertama, ada manusia yang menyatakan iman dan bahkan melaksanakan beberapa syari’at Islam, tapi sebenarnya mereka tidak beriman. Mereka menyatakan iman dan melaksanakan beberapa syari’at Islam itu dengan tujuan untuk menipu ummat Islam, agar mereka memperoleh keuntungan dunia semata. Kelompok ini, oleh Al Qur’an dinyatakan sebagai kelompok yang berusaha menipu Allah dan menipu orang Mu’min, tapi sebenarnya mereka menipu dirinya sendiri. Kelompok inilah yang disebut sebagai kelompok munafikin.

Hadist Rasulullah SAW menerangkan bahwa ciri kemunafikan itu adalah apabila berkata dusta, apabila berjanji palsu dan apabila mendapat amanat khianat.

Hadist lain menambahnya satu lagi, hingga menjadi empat, yaitu apabila bisnis curang.

Indikator lain oleh Al Qur’an diterangkan, bahwa orang munafik itu selalu sombong dan menyombongkaan diri (Q.S. Al Munafiqun, 63:5), fasik (Q.S. At Taubah, 9:67), suka menghalang-halangi orang lain untuk beriman (Q.S. An Nisa, 4:61), mengajak kepada kekafiran (Q.S. An Nisa, 4:89), menyuruh orang lain melakukan kemunkaran dan kejahatan, mencegah dan menghalang-halangi orang lain dari berbuat kebajikan (Q.S. At Taubah, 9:67), memilih kafir menjadi pemimpin dengan mengenyampingkan orang-orang Mu’min (Q.S. An Nisa, 4:138, 139).

Kedua, mereka yang dalam hati nuraninya percaya kepada kebenaran ajaran Islam, tapi karena pertimbangan harga dirinya, atau karena pertimbangan keuntungan duniawinya, mereka tidak mau menyatakan keimanannya, bahkan mereka dengan terang-terangan melawan dan memusuhi Islam atau memusuhi ummat Islam. Pada zaman Nabi Muhammad SAW orang-orang yang bersikap seperti ini adalah seperti Abu Jahal, Abu Lahab dan sejumlah tokoh Quraisy musyrik yang menentang Nabi Muhammad SAW. “mereka membantah keterangan-keterangan (agama) Allah karena dengki dan sombong, padahal hati mereka sendiri meyakininya”… (Q.S. An Naml, 27:14).

Di akhirat nanti di antara mereka akan mengeluh, menyesal dan menyatakan “sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (ajaran Islam) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Q.S. Al Mulk, 67:10).

Ada pula kelompok manusia yang karena kesombongannya mereka menutup diri dari petunjuk Allah SWT. Apakah mereka diajak atau tidak diajak, mereka tetap tidak mau menerima ajaran yang hak. Sebab mereka telah membikin semacam sumbat pada hati mereka, pada pendengaran dan penglihatan mereka. (Q.S. Al Baqarah, 2:6-7).

Ketiga, ada kelompok manusia yang dengan tulus menerima kebenaran ajaran Islam tapi mereka tidak konsekuen melaksanakan ajaran Islam.

Meraka tahu dan sadar tentang apa yang diwajibkan Allah bagi diri mereka, tapi mereka tidak mau melakukannya. Mereka tahu dan sadar tentang apa-apa yang dilarang oleh Allah SWT tapi mereka tidak mau meninggalkannya. Mereka disebut dengan Muslim ‘ashi, Muslim yang berlumuran dosa.

Kalau dosa yang mereka lakukan terdiri dari dosa-dosa besar (kaba’ir), maka mereka dikelompokkan kepada kelompok fasik atau zhalim.

Setiap Muslim diperintahkan untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanannya. Di antara langkah penting untuk meningkatkan kualitas iman ialah dengan mengamalkan seluruh apa yang diperintahkan Allah dan dengan konsekuen menjauhi segala apa yang dilarang oleh Allah.

Kesungguhan seseorang dalam melaksanakan ajaran Islam selain merupakan indikator keimanannya, juga merupakan proses pembinaan dan peningkatan kualitas keimanannya.

Semakin rajin seseorang mengamalkan ajaran agama, maka akan semakin kokoh dan kuatlah keimanannya.

Dalam Al Qur’an surat Al Asyr diterangkan tentang garis besar kewajiban seseorang Muslim dalam kaitannnya dengan ajaran Islam, yaitu mengimani Islam, melaksanakan Islam, menda’wahkan Islam dan mempelajari Islam. Keimanan seseorang terhadap Islam harus disertai dengan pengamalan Islam, pengkajian Islam dan perjuangan untuk membela dan menyebarluaskan Islam.

Menurut Al Qur’an seorang Mu’min yang konsisten dengan keimanannya antara lain ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:

Pertama, keimanannya itu betul-betul teguh, tidak goyah dan tidak ragu-ragu. (Q.S. Al Hujurat, 49:15).

Kedua, keimanannya itu ditandai dengan ketundukkan hati untuk menerima segala ketetapan dari Allah dan Rasul Allah. (Q.S. An Nisa, 4:65).

Ketiga, keimanannya itu dibuktikan dengan senantiasa mendengar dan mematuhi segala perintah Allah. (Q.S. An Nur, 24:51).

Kelompok manusia yang secara konsekuen membuktikan keimanannya dalam hidup dan kehidupannya disebut dengan berbagai nama seperti: almuttaqin (orang-oraang yang taqwa), almuqarrabin (orang-orang yang dekat dengan Allah), almushsinin (orang-orang yang melakukan kebajikan), assholihin (orang-orang yang saleh), almukhlisin (orang-orang yang ikhlas).

Dalam kajian fiqih, sebagai hasil dari ijtihad dan interpretasi para ulama terhadap ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW, apa-apa yang diperintahkan atau dicontohkan oleh Nabi dimasukkan pada kelompok hukum wajib yaitu musti dilakukan dan kelompok sunnat yaitu anjuran untuk dilaksanakan. Sedang apa-apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya dimasukkan kepada salah satu dari dua kemungkinan, yaitu haram yang berarti musti ditinggalkan dan makruh yaitu anjuran untuk ditinggalkan.

Ketetapan tentang sesuatu perintah atau sesuatu contoh dari Nabi itu wajib atau sunnat, ternyata tidak selamanya melahirkan kesepakatan. Demikian juga tentang ketetapan bahwa sesuatu larangan itu haram atau makruh para ulama pun tidak selamanya mempunyai kesimpulan yang sama. Maka jalan yang terbaik adalah membebaskan diri kita dari perbedaan pendapat tersebut, yakni dengan sikap berusaha melaksanakan segala apa yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Nabi, baik yang bernilai wajib maupun yang bernilai sunnat. Serta berusaha untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang pernah dilarang oleh Allah dan Rasul, baik yang bernilai haram maupun yang bernilai makruh.

Para ulama ushul berpendapat: Alkhuruj minal ikhtilaf mustahabbun = keluar dari perbedaan pendapat adalah langkah yang terbaik.

 

  1. Tauhidullah dan Ahlak.

 

Tauhid adalah landasan ulama ahlak Islam sedang syirik adalah sebab utama dari segala perbuatan dosa.

Perbuatan syirik dinilai oleh Al Qur’an sebagai :

–          Dosa yang paling besar (An Nisa’48).

–          Kesesatan yang paling fatal (An Nisa ‘116).

–          Sebab diharamkannya masuk syorga ( Al Ma’idah ’72).

–          Dosa yang tidak diampuni Allah SWT (An Nisa ’48).

I’tikad dan keyakinan tauhid mempunyai konsekuensi bersikap tauhid dan berfikir tauhid seperti ditampakkan pada :

  1. Tauhid dalam ibadah dan do’a. yaitu tidak ada yang patut disembah kecuali hanya Allah dan tidak ada dzat yang pantas menerima dan memenuhi do’a kecuali hanya Allah ( Al Fatihah 5).
  2. Tauhid dalam mencari nafkah dan berekonomi. Yaitu tidak ada dzat yang memberi rizki kecuali hanya Allah (Hud 6). Dan pemilik mutlak dari seluruh apa yang ada adalah Allah SWT. (Q.S. Al Baqarah 284, An Nur 33).
  3. Tauhid dalam melaksanakan pendidikan dan da’wah. Yaitu bahwa yang menjadikan seseorang itu baik atau buruk hanyalah Allah SWT. Dan hanya Allah yang mampu memberikan petunjuk kepada seseorang (Al Qashash 56, An Nahl 37).
  4. Tauhid dalam berpolitik. Yaitu penguasa yang Maha Muthlaq hanyalah Allah SWT (Al Ma’idah 18, Al Mulk 1), dan seseorang hanya akan memperoleh sesuatu kekuasaan karena anugrah Allah semata-mata (Ali Imran 26). Dan kemulyaan serta kekuasaan hanyalah kepunyaan Allah SWT (Yunus 65).
  5. Tauhid dalam menjalankan hukum. Bahwa hukum yang benar adalah hukum yang datang dari Allah SWT. Serta sumber kebenaran yang muthlaq adalah Allah SWT (Yusuf 40 dan 67).
  6. Tauhid dalam sikap hidup secara keseluruhan, bahwa tidak ada yang patut ditakuti kecuali hanya Allah. (At Taubah 18, Al Baqarah 150). Tidak ada yang patut dicintai kecuali hanya Allah (dalam arti yang absolute) (At Taubah 24). Tidak ada yang dapat menghilangkan kemudharatan kecuali hanya Allah (Yunus 107). Tidak ada yang memberikan karunia kecuali hanya Allah (Ali Imran 73). Bahkan yang menentukan hidup dan mati seseorang hanyalah Allah SWT (Ali Imran 145).

Tauhid yang sungguh-sungguh akan melahirkan satu sikap yang tunduk dan patuh kepada Allah, yang disebut Al Qur’an dengan sikap sami’na wa atha’na yaitu kami dengar dan kami patuh. Dan kepada mereka yang tidak patuh dinilai sebagai orang mengilah-kan hawa nafsu (Al Jasiyah 23).

Nabi bersabda: “Tidak berzina orang yang berzina kalau dia beriman dan tidak mencuri seorang pencuri kalau beriman….