Oleh : PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL

Tanggal 8 Dzulhijjah yang tahun ini bertepatan dengan tanggal 14 November adalah saat dimulainya rangkaian ibadah haji. Prosesi haji akan berlangsung selama lima atau enam hari. Semua proses itu akan dilalui di antara Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah. Sebetulnya masih ada beberapa hari atau bahkan beberapa minggu tersisa sebelum tanggal itu tiba. Tapi para calon jamaah sudah mulai menyemut berangsur menuju kota suci. Saat ini kita mulai menyaksikan keberangkatan rombongan.

Mereka akan tiba dan berada di kota bersejarah untuk menelusuri jejak-jejak para utusan Allah, khususnya keluarga Ibrahim ’alaihissalam. Mereka akan manapaktilasi perjalanan itu sesuai yang dicontohkan Rasulullah. Mereka akan merasakan denyut jantung Makkah sebagai kota yang penuh berkah, meski secara fisik tidak lebih dari hamparan padang pasir yang kering dan tandus. Semuanya berubah. Makkah menjadi tempat yang penuh berkah karena buah perjuangan dan kedekatan Ibrahim pada Allah SWT.

Lalu apa kunci utama keberkahan itu? Jika dirumuskan dalam ungkapan yang paling sederhana, kunci keberkahan Makkah adalah semangat religiusitas Ibrahim dan seluruh warganya yang saat itu menjadi pengikut setianya. Ibrahim adalah sosok pemimpin yang selalu mengikatkan seluruh kesadarannya pada kekuasaan Yang Maha Kuasa. Dia berserah diri dalam totalitas ketulusan untuk mengabdi demi kepentingan masyarakatnya. Do’anya dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyatnya, dan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Memimpin dengan adil dan tak pernah dusta; berusaha mencintai dan dicintai rakyatnya; peduli memperhatikan nasib masyarakatnya.

Bagi para jamaah haji, makin dekatnya dengan momentum Dzulhijjah, terasa makin dekat pula dengan para aktor yang pertama kali membuka belantara perjalanan yang kini disebut ibadah haji. Terlihat dalam sejarah beberapa nama, seperti Ibrahim, Hajar, dan Ismail. Mereka adalah para pemeran utama kisah disyariatkannya haji. Ibrahim memulai pengembaraannya dengan meninggalkan Hajar dan Ismail di lembah sunyi, di pinggir kaki Ka’bah, tanpa bekal apapun. Ibrahim meninggalkan mereka karena panggilan kewajiban untuk mendatangi Sarah yang tengah sendirian di Palestina.
Tapi, karena mukjizat-Nya, Ka’bah kini tak pernah sunyi lagi. Jutaan manusia datang menghampirinya, lalu mengelilinginya. Berthawaf dan bersa’i, sambil sesekali meneguk Zam-zam. Makkah kini tidak seperti ketika Ismail meronta-ronta kehausan. Makkah ini menjadi kota yang penuh berkah. Inilah di antara buah do’a yang pernah dilakukan Ibrahim ’alaihissalam.

Di antara pesan utama do’a Nabi Ibrahim adalah keinginan menjadikan Makkah sebagai kota yang penuh berkah. Biarlah kota ini tetap gersang, tapi tidak pernah kurang apapun untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang tinggal di dalamnya. Ibrahim ingin anak cucu dan generasi sesudahnya hidup dalam keadaan sejahtera. Kebutuhan dasar hidupnya terpenuhi, pemerintahannya bersih dan berwibawa, para pemimpinnya jujur dan amanah, dan keseluruhan sistem kehidupan warganya mendapat limpahan maghfirah Yang Maha Ghafur.

Benar saja do’a itu terjawab seutuhnya. Meski secara geografis kota Makkah tergolong tandus dan gersang, tapi hampir seluruh produk pertanian tersedia di kota ini. Sayur-sayuran dan buah-buahan, melimpah tak pernah surut memenuhi kebutuhan penduduk dan para peziarah. Zam-zam yang tak pernah kering, peziarah yang tak pernah surut, kekayaan alam yang tetap melimpah, semuanya memberikan jalan keberkahan yang terus mengalir bak tak bertepi.

Di sekitar kota Makkah, hanya gurun pasir dan bebatuan yang tampak dalam pemandangan. Tidak mudah menemukan padang hijau dengan lahan pertanian yang luas seperti di kawasan-kawasan subtropis lainnya di dunia. Sulit dibayangkan jika di kota ini begitu mudah ditemukan ternak kambing serta binatang lain pemakan tumbuh-tumbuhan. Dalam perjalanan menuju Jabal Nur dan Jabal Tsur, misalnya, tidak ada pemandangan yang dapat dilihat, kecuali batu-batu, pasir dan kerikil penuh menutupi bumi. Tapi di tempat ini pula tampak pemandangan ternak bertebaran, kambing dan unta tetap berkembang sehat.

Tatkala Ibrahim akan meninggalkan istrinya Hajar bersama putranya Ismail di lembah Makkah untuk kembali menemui istrinya Sarah di Palestina, Ibrahim memohon perlindungan Allah: ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah-Mu (Baitullah) yang dihormati” (QS, 14: 37). Lalu Ibrahim melanjutkan do’anya untuk diberikan rizqi bagi keturunannya.

“Ya, Tuhan kami,
(yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat
Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka
Dan beri rizkilah mereka dari buah-buahan
Mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Keinginan Nabi Ibrahim ini sepintas tidak masuk akal. Hajar dan Ismail ditinggalkan di tengah padang pasir yang tandus, tanpa ditemani oleh seorang manusiapun, dan tanpa dilengkapi perbekalan seperti layaknya manusia hidup. Bagaimana mungkin akan datang rizki makanan di tengah kegersangan dan tanpa seorangpun manusia? Sangat tidak rasional. Tapi tidak bagi Allah. Semuanya menjadi mungkin, sejauh Dia berkehendak. Karena itu pula, sebagai ikhtiar rasionalnya, Ibrahim meminta kepada Allah agar didatangkan manusia yang dapat menolong mereka: ”jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka”.

Do’a Ibrahim ’alaihisalam dikabulkan. Makkah hingga kini tetap didatangi jutaan manusia, dan Makkah menjadi tempat yang subur. Inilah gambaran kota yang penuh berkah. Subur di tengah kegersangan lahan. Seolah ada magnet dengan kekuatan raksasa menarik semua kekayaan alam berkumpul di kota ini. Begitulah jika Allah sudah berkehendak. Sehingga begitu terasa jelas bagaimana Allah memperlakukan kota ini. Kalau saja bukan karena kehendak-Nya, sulit dibayangkan jika di tengah kegersangan ada kesuburan.

Kini para calon tamu Allah itu mulai berangkat menuju Makkah. Sejak pertama kali berencana menunaikan rukun Islam yang terakhir ini, lalu menyiapkan diri dengan mengikuti berbagai latihan manasik haji, hingga saat keberangkatan tiba, mereka semakin merasakan kharisma kota suci. Semuanya terbayang jelas. Semuanya ada di kelopak mata mereka, persis seperti yang dengar dari berbagai penjelasan tentang haji. Bahkan ketika dibacakan kemali kembali ayat-ayat Allah yang menggambarkan perintah ibadah haji dalam al-Qur’an, pemandangan itu terasa semakin dekat.

Prof. Dr. Miftah Faridl, Komisaris dan Pembimbing Utama Biro Perjalanan Haji Safari Suci.