Menyapa Umat dengan Zakat
Oleh: Prof. Dr. KH. Miftah Faridl
Ramadhan disebut juga bulan zakat. Di penghujung bulan suci ini setiap individu beragama Islam diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah. Selain zakat fitrah, volume mengeluarkan zakat-zakat lainnya juga meningkat di bulan ini. Zakat maal, zakat profesi, serta sejumlah infaq dan shadaqah, ditunaikan di bulan ini. Dengan zakat ini kita dapat saling menyapa tanpa melihat perbedaan kelas. Dengan zakat pula kita dapat berbagi kebahagiaan khususnya di kala memasuki hari kemenangan, Ied al-Fitri.
Melalui semangat kebersamaan dan cinta kasih, zakat dapat mengikat solidaritas sebagai satu komunitas. Pada awal pertumbuhan masyarakat Muslim di Madinah, Nabi membangun fondasi umat melalui jembatan zakat. Komunitas Muslim pun tampak semakin kokoh, hidup dalam iklim sosial tanpa senjang. Setiap anggota masyarakat dapat saling merasakan apapun yang menimpa saudara-saudaranya. Hingga datang saatnya ketika Nabi wafat, masalah yang pertama kali muncul dan menjadi perhatian penting khalifah Abu Bakar Shiddiq adalah zakat.
Tidak sedikit di antara kaum muslimin ketika itu yang telah biasa berzakat tiba-tiba menolak untuk berzakat. Padahal, ajaran zakat pada masa-masa awal perkembangan Islam bukan saja merupakan salah satu perwujudan dari ketaatan pada perintah Allah dan Rasulnya, tapi juga sekaligus menjadi kekuatan sosial yang berfungsi memperkokoh bangunan kebersamaan di antara sesama. Tidak semua orang Makkah dan Madinah yang menjadi pengikut Nabi Muhammad saat itu berasal dari lapisan masyarakat atas secara ekonomi. Banyak para hamba sahaya yang tulus menjadi pengikut Nabi, atau orang-orang fakir-miskin dan yatim-piatu, termasuk janda-janda shalihah yang ditinggal suaminya karena gugur di medan perang, dapat tertolong secara sosial oleh tegaknya ajaran zakat.
Tradisi Nabi dalam mengelola zakat untuk kepentingan sosial ini dilanjutkan oleh para shahabat dan tabi’in. Sejalan dengan semakin berkembangnya masyarakat muslim dari waktu ke waktu, pelaksanaan ajaran zakat pun menghadapi permasalahan yang tidak pernah muncul pada zaman Nabi dan para shahabatnya. Maka, karena tantangan munculnya berbagai persoalan seperti itulah hingga pada periode berikutnya lahir satu rumusan petunjuk pelaksanaan perintah Allah ini dalam bentuk yang sekarang disebut fiqh zakat. Berbagai ijtihad dilakukan untuk menemukan solusi pengelolaan zakat agar tetap mampu memelihara semangat sosial, sekaligus memberikan efek spiritual bagi para pelakunya.
Dengan mendasarkan pada pertimbangan-pertimbangan empirik sosiologis yang berkembang mengikuti perjalanan masyarakat Muslim dari zaman ke zaman itu pula, seorang pemikir Muslim kontemporer, Yusuf Qardhawi, merumuskan berbagai terobosan fiqhiyah dalam hal pelaksanaan zakat. Berbagai telaah tentang zakat menyebutkan bahwa untuk memelihara tujuan disyariatkannya (maqashid syar’iyah) perintah zakat, diperlukan ijtihad-ijtihad sosial yang akan memberikan efek produktif bagi kemaslahatan umat. Karena itu, untuk mengantisipasi kompleksitas pengelolaan zakat sejalan dengan semakin kompleksnya struktur masyarakat, salah satunya, diperlukan sistem kelembagaan zakat.
Lembaga-lembaga zakat yang di Indonesia saat ini telah diatur melalui undang-undang tersendiri dapat berperan lebih optimal. Ia bukan saja berorientasi pada dimensi mustahiq, tapi juga pada dimensi muzakki. Melalui sistem kelembagaan ini, para amilin bukan saja akan berfungsi sebagai pengumpul dan pendistribusi zakat secara konvensional, tapi juga akan berfungsi sebagai jembatan kehidupan di antara lapisan-lapisan sosial yang sering tampak sangat senjang. Ia bukan hanya memikirkan pola pendistribusian yang cenderung konsumtif, tapi juga akan memasuki wilayah pemberdayaan para mustahiq secara lebih produktif.
Oleh karena itu, lahirnya lembaga-lembaga zakat seperti yang berkembang di sejumlah perusahaan besar, termasuk BUMN, akan membuka ruang produktifitas yang lebih besar, dan akan memberikan dampak sosial yang lebih besar pula. Melalui fungsi kelembagaan seperti ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif yang relatif lebih baik, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun akan dilakukan dengan tetap mengacu pada ketentuan normatif tentang muzakki dan mustahiq di satu pihak, dan di pihak lain, setiap muzakki dapat menyerahkan kewajiban zakatnya melalui lembaga secara lebih tertib yang tergabung dalam wadah organisasi BAZ. Kemudian perolehan zakat itu disalurkan kepada mustahiq dalam format yang lebih produktif membina ummat, dengan tetap memperhatikan formula delapan ashnaf seperti dinyatakan dalam al-Qur’an.