Oleh: Prof Dr. KH. Miftah Faridl
Sejak awal, al-Qur’an telah memperkenalkan sejumlah pendekatan komunikatif dalam usaha dakwah agar mampu menyapa umat melalui kearifan rasa bahasa yang menjadi pakainya sehari-hari. Al-Qur’an juga senantiasa mengingatkan para pengikutnya untuk melakukan dakwah sesuai dengan problema serta kapasitas kebudayaan masyarakat yang dihadapinya. Jika Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa dakwah itu harus dilakukan dengan mempertimbangkan ukuran akal yang menjadi milik masyarakatnya, ‘alâ qadri ‘uqulihim, maka dakwah juga berarti harus melihat secara cerdas watak kebudayaan setempat di mana dakwah itu dilaksanakan.

Mungkin, inilah yang, ketika buku ini lahir, tengah dilakukan penulisnya, Abdullah Gymnastiar, atau yang biasa lebih dikenal AaGym. Dalam dakwah biasanya AaGym larut berkomunikasi dengan para jamaah. Dan lewat komunikasilah biasanya AaGym menyapa dan menyentuh kebutuhan umat. Sebab komunikasi sendiri memang penuh nuansa. Bahkan bila dilihat dari sisi fungsi yang biasa diperankannya, komunikasi merupakan alat yang sering dimainkan oleh banyak aktor; mulai dari pesuruh, cleaning service, sekretaris, pedagang, direktur, sampai seorang kepala negara. Sedangkan bila dilihat dari sisi ruang aktivitas manusia, komunikasi ada di mana-mana. Bukan hanya di kelas ketika guru menyampaikan pesan-pesan ilmu pengetahuan kepada para siswanya; atau di masjid ketika seorang muballigh berkhotbah menasihati jamaah; bahkan di toilet pun ketika seseorang sedang termenung sendirian, komunikasi tetap setia menyertai kita. Sebab komunikasi pada hakikatnya merupakan unsur yang ikut memberikan kontribusi sangat besar dalam proses memanusiakan manusia.

Karena itu, mudah dipahami jika kemudian AaGym sendiri tampak banyak mempertimbangkan sisi komunikasi dalam menyampaikan pesan-pesan agama pada para jamaahnya. Baginya, seolah-olah semua hal menyangkut hidup dan kehidupan manusia ini selalu membutuhkan komunikasi. Senandung Jagalah Hati adalah di antara cara dia berkomunikasi untuk mengajak umat mampu menahan diri. Ia menjadi sedemikian populer dinyanyikan berbagai lapisan masyarakat karena substansi pesan-pesannya yang dipandang relevan dengan perjalanan zaman. Dan AaGym adalah anak kandung yang lahir dari rahim zaman tersebut.

Agak lama saya mengenal pribadi penulis buku ini. Tahun 1987 ia sempat menunaikan ibadah haji bersama saya. Sempat pula beberapa kali bertemu di Masjidil Haram. Bahkan sempat pula thawaf bersama. Dalam kebersamaan itulah, saya mulai memahami ”sedikit” lebih dari sekedar permukaan yang sering tampak. Dia sudah terbiasa belajar dan berkomunikasi untuk membaca tanda-tanda zaman. Sebelum menjadi AaGym hari ini, saya juga sering bertemu dan berdialog dalam kesempatan pengajian-pengajian yang diselenggarakan Masjid At-Taqwa KPAD Gegerkalong Bandung. Dalam pengajian-pengajian inilah tampaknya AaGym juga mulai mengasah kepekaan sosialnya untuk mampu menyapa umat sehingga akhirnya dia memilih untuk berkhidmat dalam dunia dakwah. Bahkan, sejak AaGym mulai sering berdakwah, saya pun sering bertemu ketika bersama-sama melakukan dakwah. Dalam kesempatan seperti ini pula dia sering memanfaatkan waktu untuk tetap belajar. Ketika dia menjadi da’i, dia pun menjadi mustami’. Jika ada hal-hal yang belum dipahami, dia pun tidak segan-segan bertanya untuk memperoleh penjelasan. AaGym suka bertanya pada saya tentang masalah-masalah keagamaan, baik langsung datang ke rumah maupun lewat tilfon.

Kebiasaan bertanya inilah, saya kira, yang mampu mengantarkan seorang jamaah pengajian Masjid At-Taqwa menjadi AaGym hari ini. Sebab kebiasaan bertanya tentang hal-hal yang belum atau bahkan mungkin tidak diketahuinya adalah sikap positif seorang da’i. Banyak sekali masalah ditemukan di medan dakwah yang sulit disentuh ilmu yang sebelumnya telah diketahui. Sering teori tidak bisa dijadikan ukuran dalam mementukan keberhasilan menyantuni kebutuhan umat. Karena itu, jika buku ini merupakan rekaman pengalaman empirik penulisnya selama menjadi da’i, maka secara substansi, buku ini terasa seperti tengah berusaha menyapa umat dengan cara tenggelam dalam lubuk rasa dan kekalutan pikiran yang hampir setiap hari dilaluinya.

Berdakwah memang memerlukan kemampuan membaca fakta, termasuk konteks budaya yang menjadi warna kehidupan masyarakanya. Seperti tersirat dalam sejarah, sejak zaman Rasulullah, aktivitas dakwah senantiasa dilakukan dengan mempertimbangkan aspek budaya setempat, terutama untuk memperlicin jalan dakwah yang ditempuhnya. Dakwah memang selalu berhadapan dengan kenyataan-kenyataan sosial budaya yang telah berkembang jauh sebelum kelahiran Islam. Sebab ketika Islam lahir di daratan tandus Arabia pada awal abad ke-7, masyarakat Arab saat itu telah memiliki peradaban yang amat tinggi. Sehingga sebagai agama Rahmatan lil ‘alamin, Islam hadir dalam nuansa yang tetap diperhitungkan. Ia bukan saja ajaran yang menawarkan sistem baru kehidupan yang universal, tapi juga ajaran yang tetap memberikan peluang bagi tumbuhnya sistem budaya lokal masyarakat yang dihadapinya.

Karena itu, dalam melaksanakan risalah dakwahnya, Rasulullah tidak pernah memaksakan kehendak apapun, meskipun ada jaminan teologis yang memayungi gerakan dakwah yang dilakukannya. Rasulullah selalu membuka ruang dialog kebudayaan yang lebih terbuka agar terjadi proses yang adil dalam membangun tata nilai baru di tengah-tengah sistem kehidupan yang telah mapan. Sebab dalam konteks sosial seperti itu, dakwah bukanlah sosok pemberantas total tatanan kehidupan lama, tetapi wujud yang melakukan proses seleksi atas nilai-nilai kehidupan yang dipandang relevan dengan kehendak ajaran.

Itulah sebabnya, ketika Islam masuk ke daratan Nusantara pada sekitar Abad ke-13, dakwah pun berlangsung melalui saluran-saluran yang paling mungkin dapat melakukan kompromi-kompromi kebudayaan. Sebab Nusantara saat itu bukanlah kawasan yang hampa kebudayaan, tetapi merupakan wadah komunitas yang telah berperadaban. Masyarakatnya telah berusia cukup lama, sehingga otomatis telah menjadi sosok yang sarat dengan tradisi serta nilai-nilai yang sebelumnya telah lebih dulu mewarnai kehidupan.

Proses islamisasi yang dilakukan oleh para wali pun berlangsung melalui pendekatan-pendekatan kultural yang paling mudah diterima. Dipertemukanlah tradisi-tradisi setempat dengan nilai-nilai ajaran selama proses yang dilaluinya tidak mengganggu prinsip aqidah yang menjadi pokok ajaran Islam. Sehingga dengan pendekatan-pendekatan dakwah seperti inilah Islam dapat memasuki ruang-ruang kehidupan masyarakat Nusantara, dan dalam tempo yang tidak telalu lama Islam pun menjadi agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat Nusantara.

Berkenaan dengan proses dakwah seperti itu, sejarah memperlihatkan adanya pertemuan antara ajaran dan kebudayaan dalam wujud yang beraneka ragam. Masuknya nilai-nilai agama pada kebudayaan Wayang Golek di tatar Sunda, misalnya, atau pada upacara “Sekatenan” pada pusat-pusat kekuasaan raja-raja pada zaman itu, memberikan inspirasi positif bagi proses adaptasi Islam dalam konteks kebudayaan setempat. Seolah-olah kenyataan ini merupakan pilihan yang paling mungkin dilakukan agara Islam sebagai agama “baru” dapat mudah diterima. Sebab hadirnya kepercayaan-kepercayaan lain yang telah mapan menjadi agama pribumi sebelum Islam datang, merupakan kenyataan yang sama sekali tidak bisa dinafikan.

Islam kemudian menjadi sahabat kebudayaan yang secara bersama-sama menghadapi masyarakat Nusantara, dan membawanya pada pola-pola kehidupan baru yang disepakati. Transformasi budaya berlangsung melalui saluran akulturasi antara Islam dengan kebudayaan setempat. Nilai-nilai ajaran yang menjadi muatan utama Islam hadir menjadi warna baru kebudayaan Nusantara. Demikian pula sebaliknya, wujud kebudayaan lama menyatu dalam ikatan kultural sehingga memberikan jalan keluar bagi usaha memperlancar proses dakwah. Bukankah Nabi sendiri pernah mengingatkan: “Sampaikan dakwah Islam itu dengan menggunakan bahasa kaumnya”. Sebab dakwah harus mampu menyatu dalam aliran darah kebudayaan masyarakatnya. Jika tidak demikian, maka dakwah tidak lebih dari sekedar tontonan yang tidak memberikan dampak sosial apapun bagi para pendengarnya.

Karena itu, menurut hemat saya, sabda Nabi di atas pada hakikatnya mengisyaratkan bahwa sesuatu aktivitas dakwah hendaknya dikomunikasikan dalam alur kebudayaan masyarakat yang menjadi sasaran utamanya. Ketika Nabi menyeru masyarakat Arab, maka seruan itu pun dilakukan dalam konteks kebudayaan masyarakat Arab. Demikian juga dakwah pada masyarakat Indonesia, tentu juga harus disampaikan dalam ruang kebudayaan masyarakat Indonesia, sehingga terjadi proses dialog yang bermakna antara pesan-pesan yang disampaikan para da’i dengan pakaian kebudayaan masyarakat yang dihadapinya.

Dalam perspektif komunikasi, pertimbangan kebudayaan dalam dakwah merupakan salah satu unsur yang dapat mempererat interaksi melalui proses penciptaan makna antara dua orang atau lebih. Sebab tanda-tanda dalam komunikasi bisa berbentuk tanda-tanda verbal ataupun nonverbal. Bahkan kedua jenis tanda itu, pada praktiknya, dapat saja hadir secara bersamaan untuk saling memperkuat atau memperjelas makna. Tidak heran jika seorang muballigh yang mengenakan baju taqwa dan kain sorban di lehernya, tampil penuh percaya diri seolah memberikan daya tarik tersendiri bagi para jamaahnya. Pesan-pesan verbal yang disampaikannya mengalir tanpa hambatan. Bahkan ketika baru berjalan menuju mimbar saja, muballigh itu seolah telah memulai menyampaikan pesan-pesan bagi para jamaahnya. Pakaian yang menjadi pembungkus tubuhnya merupakan isyarat nonverbal yang dapat memperlancar pemaknaan ketika pesan-pesan verbalnya mulai disampaikan. Jadi, pakaian dalam kasus seperti ini, bukan saja telah memperlancar penerimaan pesan bagi para jamaah, tapi juga telah berfungsi sebagai fasilitas sosial yang dapat memperteguh konsep diri seorang pelaku komunikasi.

Komunikasi sendiri akan memberikan kepuasan bagi para pelakunya, baik dalam fungsinya sebagai komunikator maupun komunikan. Karena itu kepuasan menjadi kata kunci dalam proses komunikasi yang efektif. Ia dikatakan efektif jika sejak awal telah mampu menciptakan suasana yang menyenangkan, iklim yang memungkinkan terjadinya pertukaran pesan lewat simbol-simbol yang saling memberikan makna. Suasana seperti itu hanya memungkinkan terjadi jika komunikasi dilakukan dengan tulus, hangat, dan akrab. Komunikasi yang dilakukan dengan terpaksa, hampir bisa dipastikan, tidak akan memberikan efek apapun bagi para pelakunya. Ia akan berlalu begitu saja, kecuali kesempatan yang terbuang selama melakukan kegiatan komunikasi.

Jadi komunikasi sebetulnya banyak melibatkan pertimbangan-pertimbangan psikologis, yang dalam banyak hal, aspek psikologis ini menjadi “semacam” kekuatan penghubung antarpelaku komunikasi. Keterlibatan seorang komunikator dalam suasana psikologis seorang komunikan merupakan jalan yang akan memperlicin proses komunikasi. Sikap empati, misalnya, dapat berfungsi sebagai fasilitas psikologis untuk masuk pada suasana batin seseorang sehingga berada bersama-sama pada suasana yang sama pula. Tidak heran jika ada ungkapan yang menyatakan bahwa komunikator yang baik adalah mereka yang dapat tenggelam dalam lautan perasaan para komunikannya. Ia mampu berada pada ruang suasana batin partner komunikasinya.

Inilah gambaran sederhana tentang arti penting komunikasi khususnya bagi para juru dakwah untuk mampu menyapa umat dalam kearifan budayanya. Dan AaGym adalah di antara sosok yang tengah berusaha meraih sukses lewat usaha seperti ini. Pesan-pesan buku ini menggambarkan warna kehidupan yang penuh nuansa. Warna kehidupan yang berhasil terbaca seorang da’i yang tetap berusaha menemukan solusi.

‘Ala kully hal, dalam perspektif komunikasi, buku yang ditulis seorang da’i muda, KH. Abdullah Gymnastiar, ini merupakan ikhtiar produktif untuk menyapa umat memberikan solusi kehidupan. Sebab, seorang da’i yang baik adalah mereka yang mampu membina hubungan insani secara mendalam dengan para jamaahnya. Ia akan menciptakan ruang komunikasi yang memungkinkan untuk menyampaikan pesan-pesan Islam kepada para jamaah. Ia juga akan mencairkan sekat-sekat psikologis yang dapat menghambat proses komunikasi antara da’i dengan para jamaah, sehingga dakwah yang disampaikannya bukan hanya dimaknai sebagai tuntutan ritual yang mengikat kehidupan seorang pemeluk Islam, tapi juga sebagai media penyampaian pesan-pesan yang efektif dan penuh makna.