Oleh : Prof. Dr. H. Miftah Faridl

Seorang menjadi yatim bukan karena keinginannya. Ia menjadi yatim karena taqdir Allah. Kehadirannya menjadi bagian dari ujian Allah kepada setiap orang yang mengetahui dan mampu mengurusinya. Kehadiran anak yatim, disatu tempat menjadi lahan ‘amal dan lahan jihad bagi mereka yang mengetahuinya.

Al Qur’anul Karim beberapa kali memberikan pedoman panduan tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim dan apa yang tidak boleh dilakukannya terhadap anak yatim tersebut, “Dan Allah menyuruh kamu supaya kamu mengurus yatim dengan adil”. Annisa:127.

Dalam Al Qur’anul Karim Q.S.Al An’am:151-153. Allah menyampaikan 10 wasiat penting (ten commandemen) untuk meraih kehidupan yang berkualitas dan posisi yang mulia di sisi Allah. (La’alllakum Ta’qilun La’allakum Tadzakkarun La’allakum Tattaqun).

10 wasiat Allah tersebut :

1. Tidak boleh menyekutukan Allah.

2. Berbuat baik kepada kedua orang tua.

3. Tidak boleh membunuh anak/menggugurkan kandungan.

4. Tidak boleh mendekati perbuatan keji yang nampak atau yang tersembunyi.

5. Tidak boleh membunuh manusia yang diharamkan oleh Allah kecuali untuk menegakkan hukum Allah.

6. Tidak boleh mendekati harta anak yatim sebelum ia dewasa kecuali dengan tujuan dan cara yang baik.

7. Menyempurnakan takaran dan timbangan.

8. Berlaku adil kepda setiap orang.

9. Memenuhi janji,

10. Konsisten mengikuti jalan yang lurus (ajaran Allah) dan tidak mengikuti ajaran-ajaran lain.

Salah satu dari 10 (sepuluh) wasiat itu ialah dilarang mendekati harta anak yatim yang belum dewasa kecuali dengan tujuan dan cara yang baik. Dan apabila anak yatim itu sudah dewasa, Al Qur’an menerangkan dalam Q.S.Annisa: 6. “Dan ujilah anak-anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka hartanya. Dan janganlah kamu memakannya (harta anak yatim) melebihi batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (menyerahkannya) sebelum mereka dewasa. Barangsiapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah dia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah dia makan harta itu menurut cara yang patut. Kemudian, apabila kamu menyerahkan harta itu kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas”. Dan bagi mereka yang menyalahgunakan harta anak yatim, Al Qur’an menyatakan. Dalam Q.S. Annisa: 2. “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah dewasa) harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, (tindakan menukar dan memakan) itu adalah dosa besar”. Annisa: 10. “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dzalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”.

Mereka yang membiarkan anak yatim terlantar atau membiarkan orang-orang miskin kelaparan padahal mereka mampu menolongnya dinilai sebagai pendusta agama. Q.S.Al Ma’un: 1-3.

Mereka yang tidak peduli terhadap anak yatim dan menelantarkan orang-orang miskin, mereka akan mendapat ujian yang berat dan kesulitan dalam memperoleh rizki. Q.S. Al Fajr: 16-18.

Sedang bagi mereka yang selalu peduli terhadap anak yatim dan menolong orang-orang miskin mereka akan memperoleh kenikmatan hidangan sorga. Q.S. Al Insan: 7-8.

Nabi bersabda: Ana Wakafilul Yatim Fil Jannah. “Di sorga Aku akan bergandengan dengan orang-orang yang ketika di dunia banyak menyantuni anak yatim”. Beliau Bersabda: “Rumah yang paling dicintai oleh Allah adalah rumah yang didalamnya disantuni anak yatim”.

“Anak Yatim itu kekasih-Ku dan barangsiapa yang meyakitinya berarti menyakiti Ku”.

Begitu penting usaha mengurus anak yatim dan agar anak yatim dapat dilayani dengan adil dan sempurna seorang pria diberikan izin untuk beristri lebih dari satu kalau yang bersangkutan bisa berbuat adil terhadap istri-istrinya tersebut. Q.S. Annisa: 3.

Al Qur’an juga menjelaskan, apabila satu keluarga membagi warisan dan anak yatim tahu, maka hendaknya anak yatim itu diberi bagian dari harta warisan tersebut. Q.S. Annisa: 8.

Anak yatim juga mendapat bagian dari hasil rampasan perang (Ghonimah) dan dari harta denda lainnya (Fai.) Q.S.Al Anfal: 41, Q.S. Al Hasyr: 7.

Kehidupan Rasulullah SAW sarat dengan teladan dalam menyikapi dan memperhatikan anak yatim. Beliau sering secara khusus mendatangi anak yatim, memangku anak yatim, mengusap-usap kepala anak yatim dan kemudian beliau memberi sesuatu kepada mereka. Di tengah kesibukan beliau dalam melayani, membimbing dan memimpin ummat. Beliau senantisa menyediakan waktu untuk menyantuni anak yatim. Bahkan salah sorang istri beliau sampai diberi gelar Ummul Yatama: Ibunya anak-anak Yatim. Karena kesibukannya dalam mengurus anak-anak yatim. Dan tradisi yang baik itu dilanjutkan oleh para khalifah Islam, baik dari Khulafaurrasyidin, Khalifah-khalifah Dinasti Ummayah, Abbusaiyah dan para pemimpin Islam berikutnya.

Pada awalnya pengurusan anak yatim itu hendaknya ditempatkan di rumah mereka yang mampu untuk di mengurusnya, membiayainya, mendidiknya dan dianggap sebagai anak sendiri. Tapi dalam proses waktu timbul inisiatif untuk mengasramakan anak-anak yatim tersebut yang diurus dan dididik secara profesional, sedang biaya hidup dan biaya pendidikannya ditanggung oleh mereka yang mampu.

Allah SWT menjanjikan kepada Nabi (juga kepada umat Islam) bahwa mereka dijamin akan mendapatkan hari esok yang lebih baik dan akan terus dianugerahi ni’mat yang menyenangkan, dengan sarat :

– Tidak menyakiti anak yatim,

– Tidak mengusir orang yang meminta-minta, dan

– Selalu syukur/tahadduts bin ni’mah.

Q.S. Adduha.