Oleh: Prof. Dr. KH. Miftah Faridl

Tradisi berjamaah dalam pelaksanaan shalat tarawih selama bulan Ramadhan, menurut salah satu riwayat, diinisiasi oleh shahabat Umar bin Khattab. Umar melihat sisi penting lainnya dari pelaksanaan tarawih berjamaah ini. Ia bukan sekedar amalan untuk mengisi malam-malam bulan Ramadhan, tapi juga merupakan sarana sosial untuk memelihara kebersamaan. Sebelumnya, pada zaman Nabi, ibadah sunnah Ramadhan ini memang dilaksanakan secara individual, bahkan ada yang melakukannya di rumah masing-masing. Karena itu, tidak heran jika ibadah sunnah ini sering diidentifikasi sebagai qiyam al-lail (shalat malam).

Seperti banyak diungkap dalam sejarah, Umar bin Khattab adalah satu di antara sedikit shahabat yang memiliki keberanian intelektual tersendiri. Kita ingat, misalnya, komentar Umar tentang tradisi mencium hajar aswad di sudut Ka’bah. ”Andai saja Nabi tidak melakukan ini, niscaya aku tidak sudi melakukannya”, kata Umar seperti digambarkan dalam salah satu tradisi shahabat (sunnah shahaby). Umar tentu telah berpikir panjang sebelum mengungkapkan buah pikirannya itu. Umar mungkin melihat sisi-sisi yang tidak rasional dari perilaku ibadah yang satu ini. Namun Umar tetap melakukan mencium hajar aswad karena ketulusannya mengikuti apapun yang dicontohkan Nabi.

Selama hidupnya, Umar dikenal banyak berijtihad. Ketika menjadi khalifah, Umar pernah membebaskan seorang pencuri karena alasan yang sangat masuk akal. Pencuri itu diketahui seorang miskin yang terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Padahal, sebagai sosok pemimpin yang selalu berusaha konsisten dengan hukum, Umar dikenal tegas memberi sanksi kepada siapa pun yang melanggar ajaran. Tapi Umar tetap memberikan pertimbangan yang sangat manusiawi.

Banyak pemikiran segar Umar kemudian menjadi pegangan dalam pelaksanaan ibadah. Selain cerdas dan pemberani, Umar juga dikenal sangat kritis terhadap sabda-sabda Nabi. Termasuk tentang pelaksanaan shalat tarawih di musim Ramadhan. Terlepas dari soal perbedaan cara pandang tentang jumlah rakaatnya, hingga saat ini, masyarakat Muslim di dunia melaksanakan ibadah sunnah tarawih secara berjamaah. Selama bulan Ramadhan, masjid-masjid di Indonesia dipenuhi para jamaah ketika waktu isya tiba. Hikmah yang luar biasa, karena tidak seperti waktu-waktu shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan kondisinya seringkali melebihi kepadatan shalat jum’at.

Hikmah apa sesungguhnya yang ada di balik syi’ar Ramadhan seperti itu, khususnya dalam berbagai bentuk ibadah sunnah yang dilakukan secara berjamaah. Ramadhan memang merupakan bulan yang sarat hikmah. Di rumah, frekuensi makan bersama dengan keluarga meningkat dibanding hari-hari di luar Ramadhan; di berbagai tempat pelayanan publik, di kantor-kantor, di hotel, dan di tempat-tempat kerja lainnya, tersedia banyak kesempatan untuk berkumpul sesama pelaku ibadah puasa: buka puasa bersama, pengajian bersama, serta bentuk-bentuk silaturahmi lainnya. Kebersamaan semakin terasa di tengah kesibukan yang seringkali makin menjauhkan kita dari nilai-nilai kemanusiaan.

Ramadhan pun datang membawa hikmah kemanusiaan. Di tengah kekenyangan duniawi yang membuat kita lupa, ajaran ini mengajak kita menahan lapar dan dahaga, terutama untuk mempertajam kesadaran kolektif dengan sesama. Melatih manusia agar sanggup tenggelam dalam suasana kehidupan kaum dlu’afa. Mengetuk kesadaran spiritual untuk mengingatkan bahwa hidup ini tidak sendirian. Ibadah puasa sengaja mengajak kita memupuk kebersamaan sekaligus mewujudkan tuntutan ajaran tauhid sosial, membangun tatanan tauhidul ummah.

Lalu shahabat Umar menyerukan melaksanakan shalat sunnah tarawih berjamaah. Berkumpullah setiap individu yang menyatu dalam ikatan teologis untuk memupuk kebersamaan. Hanya satu bulan dari dua belas bulan yang setiap hari kita lalui. Selama bulan inilah kita hidupkan kembali semangat kemanusiaan yang berakar pada ajaran ukhuwah. Setiap diri kita merasakan suasana yang sama, sebagai simbol bahwa kebersamaan adalah tiang penting dari bangunan ukhuwah yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya.

Khalifah Umar telah merintis tradisi kebersamaan ini dengan menyatukan pelaksanaan shalat tarawih secara bersama. Suatu kreatifitas (tajdid) dalam ibadah dengan memberikan pertimbangan sosial untuk kemanusiaan. Sebab nilai kemanusiaan itu, salah satunya, terletak pada kesiapan individu untuk bersedia saling mengisi dan berbagi dengan sesama. Seperti itulah kebersamaan sesama manusia itu dibangun, berdiri bersama, ruku dan sujud bersama, berdo’a bersama, bahkan mengucapkan niat puasa pun bersama-sama. Di masjid setiap individu duduk bersama, dalam garis sejajar yang tidak memberikan kesempatan untuk meninggikan ataupun merendahkan antara satu dengan yang lainnya.

Nilai-nilai shalat inilah yang harus menjadi muatan utama kehidupan yang akhir-akhir ini tampak semakin retak.