EKSKLUSIFISME HAJI
Di antara ibadah-ibadah ritual yang disyariatkan ajaran, ibadah haji merupakan bentuk ibadah yang istimewa, bahkan ada pula yang menyebutnya eksklusif. Ibadah haji hanya diwajibkan sekali seumur hidup, dan tidak bisa dilakukan di sembarang waktu. Dalam setahun, rangkaian ibadah haji hanya dilakukan dalam tempo lima sampai enam hari, mulai tanggal 8 sampai 12 atau 13 Dzulhijjah. Ibadah haji juga dilakukan di tempat-tempat yang telah ditentukan. Dimulai di miqat (tempat dimulainya niat beribadah haji), kemudian Masjidil Haram, Mina, Arafah, dan Muzdalifah.
Selain itu, pakaiannya pun istimewa, sesuai dengan ketentuan syariat, dua helai kain tanpa jahitan untuk laki-laki, tidak boleh menutup kepala, tidak memakai alas kaki yang menutup dua mata kaki; dan dengan menutup seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan bagi perempuan. Inilah yang disebut ihrom. Kain yang melambangkan hakikat kesetaraan umat manusia. Karena pakaian itu memang disyariatkan sama. Pakaian yang seolah-olah membisikan suara Tuhan: “Mulailah dengan niat yang sungguh-sungguh untuk melengkapi kewajiban demi kewajiban.” Dan berihrom adalah ikhtiar simbolik untuk meluruskan motivasi dengan membersihkan segala bentuk pikiran, perasaan dan tindakan.
Dimulai tanggal 8 Dzulhijjah, talbiyah mulai bergema, memenuhi ruang kota suci tempat berkumpulnya para jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Gema talbiyah yang menjadi salah satu simbol pemenuhan undangan-Nya, mulai mengusik kesadaran para jamaah untuk segera memutihkan eksistensi diri, seputih kain ihrom yang melilit bersih tanpa noda.
Haji yang sebelumnya lebih menyiratkan kesan ritual dalam rangkaian do’a-do’a, ternyata juga menawarkan pengalaman batin yang dapat mengantarkan seseorang pada satu kesadaran luhur seperti layaknya seorang hamba. Pengalaman batin itu diperoleh begitu manusiawi. Padahal do’a sendiri menyiratkan transendensi yang sulit dipahami kepala telanjang.
Terhadap rangkaian ritual ibadah haji, ada yang menyebutnya sebagai puncak kepasrahan sikap keberagamaan seseorang dalam rangkaian memenuhi perintah ajaran seperti diisyaratkan rukun Islam yang lima. Inilah, barangkali, hikmah mengapa haji ditempatkan pada posisi rukun yang kelima. Seperti apa yang dilalui umumnya para jamaah, haji memang mensyaratkan berbagai kesiapan, bukan saja fisik material, tapi juga mental spiritual. Meskipun pada saat yang sama, haji juga dapat berubah menjadi kekuatan raksasa yang dapat melunakkan hawa nafsu yang sebelumnya begitu keras membatu.
Ketika lautan manusia mulai menyemut mengelilingi pilar-pilar tempat para jamaah melempar jumroh, jutaan hamba Tuhan tumpah memenuhi lahan sempit yang pengap berdebu, kekuatan spiritual pun membuka pintu semangat para jamaah, bergerak menyemut mengikuti jejak Rasulullah melempar jumroh sesaat setelah tergelincir matahari. Allah senantiasa menolong dan memberikan jalan keluar bagi mereka yang berniat kuat melaksanakan segala perintah-Nya sesuai dengan contoh para utusan-Nya.
Di sinilah para jamaah melaksanakan jumroh, melempar pilar sebagai simbol pertentangan atas sifat-sifat syaithaniyah yang mungkin telah menjadi pakaiannya sehari-hari. Mereka bergantian dan saling melindungi mendekati pilar demi pilar: jumratul ula, jumrotul wustha, dan jumratul aqabah. Tujuh buah kerikil kecil dilemparkan satu persatu. Tujuh buah kerikil kecil lagi dilemparkan satu persatu. Dan akhirnya tujuh buah kerikil kecil lagi dilemparkan satu persatu. Dua hari atau tiga hari di antara Arofah-Makkah.
Jumrah melambangkan perjuangan dahsyat untuk mencapai suatu tujuan memperoleh kasih sayang Allah SWT. dan terkutuknya syetan. Seseorang yang melakukan jamarat dididik untuk pandai mencari peluang sekaligus memanfaatkannya. Mereka yang cerdik dan berani akan segera sampai di tempat tujuan. Mereka yang dengan santun melakukan setiap kali langkah melempar batu, akan sampai di tujuan tanpa harus menyakiti orang lain. Sementara seseorang yang pengecut dan penakut, tidak memiliki nyali untuk menghadapi berbagai tantangan, tidak akan memperoleh kenikmatan sebagai buah perjuangan.
Assalamu’alaikum
Awal Oktober ini, para calon jamaah haji mulai berangsur meninggalkan tanah air menuju tanah suci. Mereka tinggalkan anak dan keluarga. Mereka lepaskan untuk sementara posisi sosial ataupun struktural; jabatan ataupun kehormatan; harta kekayaan ataupun kemegahan. Mereka hanya membawa taqwa sebagai bekal utama berhaji seperti diisyaratkan Alqur’an dan Sunnah Rasulullah.
Ritual tahunan ini memang bukan sekedar ibadah ritual an sich. Tapi juga sekaligus sebuah proses manusiawi yang melibatkan berbagai faktor, mulai dari persoalan transportasi, akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan berbagai fasilitas pendukung lainnya. Setiap jamaah haji tidak bisa mengesampingkan faktor-faktor tersebut, apalagi menafikannya.
Mereka akan berada di tanah suci dalam waktu yang tidak sebentar. Meski ibadah haji itu hanya memerlukan waktu 5 atau 6 hari, para jamaah, khususnya jamaah haji regular, akan berpisah dengan keluarga selama empat puluh hari. Mereka akan menuntaskan ibadah haji, lalu mengisi sisa waktu selama di tanah suci untuk melaksanakan ziarah ke sejumlah tempat bersejarah.
Tapi dapatkah seluruh rangkaian ritual itu terlalui sempurna seperti apa yang pernah dilakukan Rasulullah?
Edisi ini ingin ikut mengantar para jamaah memahami sisi-sisi “eksklusif” perjalanan ibadah haji.