OLEH : PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL

Wacana aliran sesat kembali memperoleh relevansinya pada beberapa waktu terakhir terutama dengan terjadinya berbagai peristiwa yang mengganggu ketenangan hidup baik intern maupun antarpenganut agama di Indonesia. Umumnya aliran-aliran yang dinilai sesat itu tumbuh dari suatu agama tertentu, dan para pendirinya mengkliam sebagai bagian dari agama itu. Kenyataan inilah yang sering mengundang reaksi keras dari pemeluk sesuatu agama. Klaim atas sesuatu agama seperti itu sering dianggap telah menodai agama oleh para pemeluknya.

Munculnya istilah ”sesat” atas sesuatu aliran atau kepercayaan juga didasarkan pada adanya persinggungan keyakinan atas sesuatu agama. Ajaran agama diyakini secara berbeda. Alat ukurnya bisa jadi sama, yaitu al-Qyr’an dan Sunnah Rasulullah. Tapi interpretasi atas ukuran-ukuran itulah yang dianggap telah membuka pintu ”penyimpangan” sehingga produk interpretasinya yang dianggap telah melahirkan sikap dan cara-cara beragama secara ”sesat”. Para pendiri dan pengikutnya, tentu tidak merasa sebagai sesuatu yang sesat, bahkan boleh jadi menganggap ajarannya yang paling benar.

Pertanyaannya kemudian, mengapa hal itu bisa terjadi? Buku Mencermati Aliran-aliran Sesat yang ada di tangan pembaca ini tengah berusaha membuka wacana untuk menemukan jawabannya. Tentu baru dari satu sudut pandang penulisnya. Secara eksplisit, penulisnya mengakui bahwa usahanya ini didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Tulisan pengantar ini tidak akan mendiskusikan lebih jauh wacana aliran sesat seperti menjadi topik utama buku ini. Saya hanya akan memberikan ulasan sederhana pada aspek lain yang menjadi ruang pertumbuhan aliran-aliran seperti dimaksud dalam buku ini. Salah satunya, yang menarik buat saya, adalah lingkungan sosial budaya di mana aliran itu tumbuh dan berkembang. Hal ini penting dilihat karena sesuatu aliran tidak lahir dalam ruang kosong. Ia berada pada konteks sosial budaya, dan bahkan politik, yang satu sama lain saling mempengaruhi.

Aliran-aliran keagamaan tumbuh di Indonesia. Ia merupakan kawasan yang jika dilihat dari banyak sudut pandang memiliki tingkat pluralitas yang sangt tinggi. Apakah pluralitas merupakan lahan subur tumbuhnya aliran-aliran? Atau apakah aliran-aliran ini merasa ”nyaman” tumbuh di kawasan yang plural? Secara kebetulan sejarah Indonesia sering diwarnai oleh lahirnya aliran-aliran, termasuk aliran dalam keagamaan yang secara teologis-subyektif sering dinilai sesat. Lalu apa implikasinya?

Pluralisme memang mengakui keberagamaan orang lain, tanpa harus setuju. Selain itu, seperti pernah diakui seorang cendekiawan Muslim, Syafi’i Anwar, yang terpenting, bukan sekadar menjadi toleran, melainkan menghormati ajaran agama orang lain. Dan sadar betul bahwa keberagamaan orang lain itu bagian yang sangat fundamental dan inheren dengan hak asasi manusia. Tapi mengapa fakta sosialnya sering malah mengundang konflik?

Bahkan, ciri yang paling menyedihkan berkaitan dengan fenomena aliran ini adalah, dipakainya cara kekerasan, baik secara simbolik maupun fisik. Padahal, sikap seperti ini tidak hanya bertentangan dengan hukum nasional, tetapi juga bertentangan dengan hak asasi manusia. Dalam agama Islam sendiri, tindakan seperti ini tegas dilarang. Al-Quran (al-Baqarah: 148) mengakui, bahwa masyarakat terdiri dari berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan cara berpikir sekaligus memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Dengan keragaman dan perbedaan itu ditekankan perlunya masing-masing berlomba menuju kebaikan. Mereka semua akan dikumpulkan oleh Allah SWT pada hari akhir untuk memperoleh keputusan final. Rahasia kemajemukan hanya diketahui oleh Allah SWT dan tugas manusia adalah memahami, mentafakuri, menjalani dan mengambil hikmah.

Al-Quran merupakan sistem nilai yang memberikan pengertian baik dan buruk yang digunakan sebagai sarana interpretasi dalam interaksi manusia, baik secara vertikal (habl min Allah) maupun horisontal (habl min al-nas). Selain itu, al-Quran juga menjadi kerangka acuan untuk memahami realitas jagat, baik empiris maupun transedental. Ia selalu terbuka bagi setiap interpretasi sehingga tidak lapuk dimakan zaman. Perbedaan yang timbul dari hasil interpretasi dipandang sebagai rahmat karena akan mendatangkan peningkatan kecerdasan bagi umat manusia dalam rangka menyingkap rahasia alam.

Ada banyak kemungkinan mengapa aliran sesat itu lahir. Misalnya, ia muncul dari paradigma berpikir yang dibentuk oleh tafsir yang literal. Dari kasus yang pernah muncul, tokoh pendirinya beranggapan bahwa kenabian itu belum berakhir. Maka, tidak salah jika kemudian dia memproklamirkan dirinya sebagai nabi. Nah, kalau tafsirnya literal tekstual, jelas akan membentuk sikap dan keputusan ekstrim seperti itu, apalagi jika hal ini kemudian menjadi pola pikir (mindset).

Faktor lain yang juga mendorong munculnya kelompok seperti itu, kemungkinan, adalah masyarakat yang tanpa hukum, krisis ekonomi yang berkepanjangan, dan ketidakpastian politik sehingga kelompok tertentu melihat hukum yang tak berjalan ini perlu diganti dengan hukum yang dirancang sendiri sebagai alternatif. Dalam kondisi seperti ini, mereka melihat ”agama” sebagai obat mujarab yang bisa dipakai untuk menyelesaikan semua masalah. Dan, jika ”agama” yang dianut belum mampu memberikan solusi, maka melahirkan ”agama” baru adalah pilihannya.

Di kalangan para penganut Islam, keterbatasan pemahaman tentang ajaran yang utuh dan hakiki, sering pula menjadi masalah. Hal ini merupakan implikasi historis terutama berkaitan dengan proses penyebaran agama. Harus diakui bahwa, masuknya Islam ke Indonesia melalui dakwah kultural, dan tidak melakukan pendekatan-pendekatan yang mengutamakan syariah. Bahkan, unsur sufisme, tasawuf, sangat besar dalam mengembangkan Islam di Indonesia karena Islam harus beradaptasi dengan kultur lokal, harus beradaptasi dengan kepercayaan-kepercayaan dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) lainnya.

Sayangnya, dakwah Wali Songo yang terbukti dalam sejarah berhasil menyebarkan Islam melalui kultural harusnya menjadi contoh. Bagaimana Sunan Kalijaga memasukkan unsur Islam dalam cerita pewayangan. Tentu itu harus bisa dijadikan pengalaman berharga dalam melakukan dakwah.

Jadi, kehadiran buku Mencermati Aliran-aliran Sesat karya Muhammad Umar Jiau al-Haq, M.Ag. ini, menurut hemat saya, akan memberikan wawasan khususnya berkaitan dengan konstruksi dan asal-usul lahirnya aliran-aliran. Dan, yang juga penting dibaca adalah, bahwa buku ini membuka cakrawala mengapa sesuatu aliran dinilai sesat.