Oleh : PROF. DR. H. MIFTAH FARIDL

Perbincangan di seputar zakat dan berbagai permasalahannya nyaring mengemuka pada sekitar lima tahun terakhir. Perbincangan terutama bermula dari pertanyaan besar, mengapa potensi kekayaan yang cukup besar itu belum mampu menjawab persoalan kemiskinan yang selama ini melilit kehidupan umat. Padahal, jika dibuat kalkulasi dengan mendasarkan pada argumen bahwa zakat itu merupakan “keharusan”, banyak persoalan kemiskinan akan bisa ditanggulangi. Lalu, jika kenyataannya memang masih memperlihatkan kondisi kesejahteraan ekonomi yang masih timpang, sementara jumlah orang kaya (aghniya) terus meningkat, maka hampir bisa dipastikan, ada sesuatu yang tidak beres dengan pelaksanaan kewajiban zakat. Atas dasar kenyataan ini pula, salah satunya, pada tahun 1999 lahir Undang-undang zakat.

Sebelum ada ketentuan formal berupa undang-undang yang mengatur pengelolaan zakat, masyarakat kita sebetulnya telah terbiasa melaksanakan ibadah zakat, khususnya zakat fitrah. Bahkan, sistem pengelolaanya pun telah dilembagakan. Terlepas dari adanya kontroversi di seputar kelembagaan tersebut, lembaga pengelola zakat yang disebut Badan Amil Zakat (BAZ) telah lama beroperasi memfasilitasi masyarakat muslim dalam menunaikan kewajibannya. Belakangan lembaga ini juga telah memperluas cakupannya dengan mengelola infaq dan shadaqah. Sehingga nama lembaga ini pun berubah menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS). Pengelolaan lembaga ini pada awalnya murni hanya melibatkan tokoh masyararat dan pemuka agama seperti ulama, kyai, ustadz, baik secara pribadi maupun melalui kelembagaan tempat berkiprahnya seperti Majelis Ulama, DKM ataupun pesantren. Akan tetapi, sejalan dengan fungsi sosialnya yang lebih spesifik dalam memberikan bimbingan keagamaan, pengelolaan lembaga zakat dengan melibatkan para pemuka agama ini tidak menunjukkan hasil yang maksimal. Ada beberapa kelemahan yang tidak memungkinkan lembaga ini dapat dikelola secara profesional.

Berkenaan dengan kenyataan seperti itu, lembaga zakat ini kemudian dikelola bersama, atau dengan melibatkan unsur pemerintah. Sehingga dari sisi kelembagaan terdapat jalur struktural sampai ke tingkat desa/kelurahan, dan senantiasa dilakukan melalui pendekatan-pendekatan formal. Melalui jalur instruksi secara top-down ini, mekanisme zakat dapat berlangsung dalam alur administratif formal, sehingga perolehan serta penyalurannya dari tahun ke tahun dilakukan dengan mengacu pada ketentuan normatif tentang muzakki dan mustahiq. Setiap muzakki menyerahkan kewajiban zakatnya kepada para amilin yang tergabung dalam wadah organisasi BAZ. Kemudian perolehan zakat itu disalurkan kepada mustahiq sesuai dengan formula delapan ashnaf seperti dinyatakan dalam al-Qur’an.

Demikianlah pelaksanaan salah satu ajaran bagi umat Islam ini berlangsung cukup lama, sehingga secara statistik dapat dianalisis adanya kemajuan dari tahun ke tahun. Di Jawa Barat, misalnya, terdapat kenaikan yang signifikan, dari sekitar 9 milyar pada akhir 1980-an hingga sekitar 30 milyar pada akhir tahun 2000-an. Ini pun pada umumnya baru merupakan gambaran hasil dari perolehan zakat fitrah yang disalurkan melalui lembaga BAZ. Pengelolaan zakat lain di luar zakat fitrah masih belum memperlihatkan gambaran yang sebanding dengan kenyataan sosial ekonomi masyarakat muslim. Jika dapat dikelola secara efektif, potensi zakat ini akan memberikan gambaran kekayaan umat yang sangat besar. Sayangnya, mekanisme pemanfaatan potensi harta umat yang cukup besar ini, umumnya, masih dilakukan secara konvensional dan konsumtif. Hampir tidak ada hasil yang lebih bersifat produktif khususnya untuk membangun masyarakat dalam jangka panjang. Hal ini terutama disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh tafsir ajaran yang menyatakan bahwa zakat itu harus dibagi habis kepada setiap individu yang berhak menerimanya.

Sejak lahirnya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka praktik pelaksanaan kewajiban zakat bagi umat Islam diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sebelumnya, meskipun tanpa undang-undang, kewajiban zakat dilaksanakan sesuai dengan mekanisme konvensional, baik yang dilakukan sendiri oleh lembaga-lembaga keagamaan maupun bersama pemerintah membentuk kelembagaan sendiri seperti adanya Badan Amil Zakat (BAZ). Bahkan, bagi sebagian masyarakat, sampai undang-undang ini ada, pelaksanaan kewajiban zakat masih dilakukan secara individual melalui figur-figur agamawan seperti kyai, atau lembaga-lembaga sosial yang dipimpinnya seperti DKM ataupun pesantren.

Praktik semacam ini umumnya didasarkan pada satu keyakinan bahwa zakat merupakan perintah agama yang bersifat individual, dan bukan kewajiban sosial yang harus diatur melalui mekanisme di luar ketentuan agama. Menurutnya, zakat merupakan kewajiban yang harus diberikan oleh seseorang secara langsung kepada fihak-fihak yang berhak menerimanya. Tidak ada perantara apapun yang dapat menjamin kesahihan sesuatu ibadah. Karena itu, bagi mereka, kehadiran lembaga-lembaga pengelola zakat tidak sepenuhnya mendapat perhatian, bahkan dipandang tidak syah jika kewajiban zakat itu disalurkan melalui lembaga tersebut. Banyak di antara masyarakat yang menganggap lebih syah berzakat kepada kyai atau pesantren daripada melalui lembaga yang secara khusus mengelola zakat seperti halnya BAZ.
Sebetulnya, pentingnya kehadiran lembaga pengelola zakat ini secara implisit telah dinyatakan dalam al-Qur’an. Bentuk “perintah” (amr) yang digunakan al-Qur’an untuk menegaskan kewajiban bagi mereka yang telah memenuhi ketentuan, dapat ditafsirkan sebagai isyarat untuk membentuk suatu sistem yang memungkinkan dapat terlaksananya sesuatu ajaran. Karena itu, jika ajaran zakat ini berhubungan dengan model pengelolaan harta dalam jumlah yang tidak kecil, maka ajaran ini pun mengisyaratkan pentingnya lembaga tersendiri agar pengelolaannya dapat dilakukan secara baik, teratur, jujur dan profesional.

Pandangan seperti ini kemudian pelan-pelan berubah. Mulai muncul pemikiran untuk mengoptimalkan manfaat potensi zakat yang jumlahnya semakin membengkak. Pemikiran akan pentingnya sistem kelembagaan yang kuat untuk mengelola zakat tampak semakin mengemuka. Sementara di sisi lain, kehadiran BAZIS seperti disebutkan di atas juga semakin memperlihatkan kelemahan-kelemahannya yang sulit bisa diterima masyarakat. Berbagai sebutan yang bernada negatif pun mulai mengalir membayang-bayangi kiprah BAZIS yang bergerak di antara dua titik yang seolah-olah tidak pernah bisa bertemu. Semakin meningkatnya kesadaran umat dalam berzakat di satu pihak; dan di pihak lain, semakin melemahnya kepercayaan umat kepada lembaga pengelola zakat yang telah ada di masyarakat.

Bersamaan dengan arus reformasi sosial-politik yang mengemuka pada akhir 1990-an, lembaga zakat ini pun menjadi salah satu agenda yang terkena imbas reformasi. Di antara tujuan akhirnya, memang bukan untuk dibubarkan, tapi untuk dibenahi sesuai dengan tuntutan umat. Sejumlah lembaga sosial mulai merintis format baru lembaga zakat. Berbagai pertemuan pun digelar untuk menemukan solusi bagaimana mengelola zakat. Forum Zakat (FOZ) yang merekomendasikan pentingnya undang-undang zakat, misalnya, dimaksudkan untuk memberikan kontribusi pemikiran bagaimana membenahi lembaga zakat yang semakin dibutuhkan masyarakat. Hal ini mengindikasikan sekurang-kurangnya dua hal penting. Pertama, berkembangnya kesadaran akan pentingnya pemanfaatan potensi zakat untuk pengembangan masyarakat; dan kedua, sebagai konsekuensi dari kepentingan tersebut, mulai munculnya lembaga-lembaga pengelola zakat di luar lembaga formal yang ada.

Di lingkungan komunitas muslim, sebetulnya telah berjalan cukup lama adanya sistem pengelolaan zakat, infaq, shadaqah dan bahkan wakaf. Di lingkungan organisasi-organisasi sosial keagamaan seperti NU, Muhammadiyah dan Persis, telah tersedia lembaga pengelola zakat yang mengurusi jamaahnya masing-masing. Akibatnya, karena kharisma kyai serta kedekatan emosional keanggotaannya, maka masing-masing komunitas itu lebih tertarik memberikan zakat melalui lembaga-lembaga yang ada pada masing-masing organisasi itu, dan tidak melalui lembaga BAZIS seperti yang diharapkan. Di lingkungan pesantren, masyarakat juga pada umumnya lebih suka memilih membayar zakat kepada kyai yang menjadi pimpinan pesantren itu, daripada kepada amilin bentukan RT ataupun RW yang menjadi kepanjangan tangan BAZIS di tingkat yang paling bawah.

Di tengah-tengah kenyataan masyarakat seperti inilah, undang-undang tentang pengelolaan zakat lahir. Menurut Pasal 6 UU Nomor 38 Tahun 1999, pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah, yang susunan kepengurusannya terdiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu. Pengelolaan zakat seperti ini, seperti disebutkan pada Pasal 5, bertujuan: (1) meningkatnya pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama, (2) meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial, dan (3) meningkatnya hasil guna dan daya guna zakat.

Seperti ditunjukkan pada pasal-pasal yang lainnya, undang-undang ini mengisyaratkan dua hal penting dalam pengelolaan zakat. Pertama, adanya penguatan hukum untuk melaksanakan zakat, bukan hanya zakat fitrah tapi juga zakat-zakat harta lainnya yang jumlahnya bisa jauh lebih besar. Besarnya perhatian terhadap masalah ini, terlihat pula dari adanya ketentuan untuk mengurangkan zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 14, ayat 3). Kedua, proses pengelolaan yang meliputi tahap pengumpulan dan pendayagunaannya. Bahkan untuk memberikan jaminan atas pelaksanaan ketentuan ini, undang-undang ini juga memberikan penguatan pada aspek pengawasan dan sanksi khususnya bagi para amilin yang diduga dan terbukti melakukan penyelewengan seperti banyak disoroti masyarakat. Tentang pola penyaluran yang pada mekanisme konvensional lebih ditekankan pada bentuk-bentuk yang lebih konsumtif, undang-undang ini juga memberikan tuntunan untuk dimanfaatkan melalui usaha-usaha yang lebih produktif.

Pendeknya, undang-undang pengelolaan zakat ini, selain memberikan perlindungan hukum atas pelaksanaan ajaran bagi umat Islam, juga memberikan petunjuk pentingnya sesuatu lembaga (Badan Amil Zakat, BAZ) yang dapat mengelola potensi zakat secara profesional. Selain itu, undang-undang ini juga telah memberikan legitimasi atas pemikiran untuk mengelola zakat melalui usaha-usaha produktif, dan bukan hanya dibagikan secara konsumtif.

Nah, dalam kerangka sosial yang diliputi penuh tanda tanya di seputar pelaksanaan zakat seperti inilah, kelahiran buku Zakat dan Pemberdayaan Ekonomi Umat karya Prof. HO. Taufiqullah ini dipandang tepat waktu. Kehadiran buku yang mengupas berbagai persoalan tentang zakat ini tentu akan sangat membantu menemukan jawaban atas sejumlah pertanyaan penting, bukan saja tentang pelaksanaan salah satu rukun Islam, tapi juga tentang implikasi sosial yang berujung pada upaya penyelesaian kemiskinan yang telah lama melilit nasib masyarakat, khususnya masyarakat muslim.

Saya beruntung kenal baik sosok Prof. Taufiqullah. Pak Taufiq (panggilan akrab penulis buku ini) adalah satu di antara sedikit orang yang punya perhatian besar pada masalah zakat dengan segala problematikanya. Kehadirannya dalam lembaga zakat di Jawa Barat juga bukan sesuatu yang tanpa hikmah. Bahkan sangat tepat jika sosok kyai yang satu ini tetap dipercaya memimpin amanah kelembagaan ini. Pak Taufiq bukan sekedar memiliki semangat untuk mengurus zakat, tapi juga ditopang oleh kepakarannya dalam bidang hukum Islam. Jadi, jika nuansa pemikirannya tentang zakat kini telah lahir dalam bentuk buku, maka buku ini sesungguhnya merupakan representasi dari ijtihad-ijtihad seorang pakar di bidangnya yang akan menembus kebutuhan umat, sekaligus mendorong semangat melaksanakan kewajiban.

Saya sendiri merasa mendapat penghargaan atas kepercayaan Pak Taufiq untuk memberikan pengantar pada buku ini. Saya bersedia bukan saja karena penulis buku ini seorang kyai dan guru, tapi juga karena besarnya hikmah yang akan diperoleh umat dari kandungan buku yang sangat berharga ini. Mudah-mudahan buku ini dapat menyentuh kebuntuan khususnya dalam ikhtiar menjawab persoalan pemberdayaan ekonomi umat seperti tersirat dalam rumusan judul buku ini.